02 Januari 2009

PATRIOTISME INDONESIA


Kumbakarna, Adipati Karna dan Soekarno : Potret Budaya Patriotisme Indonesia
Menggali Kembali Semangat Kepahlawanan Bangsa

Oleh. Imam Suprapto


Bangsa Indonesia baru saja memperingati Hari Pahlawan 10 November. Hari yang lahir dari moment besar sejarah bangsa ini. Sebuah peristiwa heroik arek-arek Surabaya yang mengangkat senjata untuk mempertahankan tumpah darah mereka. Tidak ada ambisi dalam jiwa mereka selain mengusir penjajah. Tidak ada kedudukan dan pangkat yang mereka harapkan. Semua rela mengorbankan harta, benda, bahkan darah dan nyawa mereka. Merekalah para pahlawan yang mati hanya sekali untuk hidup selamanya dalam sanubari rakyat bangsanya sebagai kusumanegara.
Saat ini juga banyak orang yang berteriak-riak memperjuangkan negeri ini. Namun sulit mencari siapakah yang benar-benar pahlawan diantara mereka. Siapa yang meneteskan keringat dan darahnya hanya untuk kejayaan ibu Pertiwi. Sebaliknya kebanyakan mereka hanya menonjolkan perjuangan atas kepentingan pribadi dan golongan. Kepentingan untuk mendapatkan kekuasaan, kedudukan, pangkat dan jabatan. Kemanakah kepahlawanan yang dimiliki bangsa ini?. Yaitu heroism dan patriotism yang dulu mampu menghancur-leburkan tembok besar imperialis yang telah berdiri kokoh selama 350 tahun di bumi nusantara. Juga sifat rela berkorban tanpa pamrih yang mampu menggetarkan hati dan mnenyiutkan nyali kolonialis sehingga tidak berani sama sekali untuk menginjakkan kaki di tanah air Indonesia.s
Untuk itu marilah kita berefleksi untuk mengenang kembali semangat patriotik para pahlawan, agar jiwa kita yang mulai enggan menggunakan sifat agung orang-orang mulia tersebut tesejukkan untuk selanjutnya bersemi lagi sifat itu guna membangun negeri kita tercinta ini.
Kita tahu jiwa heroik dan patriotik sebenarnya sudah mendarah daging dalam diri rakyat Indonesia. Jiwa itu lahir dari filsafat hidup bangsa yang sudah menjadi kearifan hidup dan merupakan implementasi dari kepribadian bangsa yang luhur.
Dalam masyarakat jawa misalnya, patriotism tidak dapat dilepaskan dari budaya wayang kulit yang keberadaannya selain menjadi tontonan juga menjadi tuntunan dalam kehidupan. Kisah-kisah dalam wayang kulit atau Ringgit Purwa berdasarkan pada cerita Mahabarata dan Ramayanatelah melahirkan konsep kesatria sejati dan sosok satria sejati.
Mahabarata adalah cerita tentang peperangan antara dua keluarga darah barata yaitu Pandawa dan Kurawa di tegal Kurusetra. Pandawa adalah satria-satria pembela kebenaran yang selalu menegakkan keadilan. Golongan pandawa terfokus pada lima sosok satria yang dalam diri mereka ada karakter-karakter mulia. Yudistira misalnya merupakan raja adil yang tidak pernah berdusta sekalipun kepada musuhnya, tidak pernah marah sehingga disebut manusia berdarah putih dengan pusaka Jimat Kalimasada. Adiknya Bima adalah sosok satria bertekad baja dan selalu berada di jalan kebenaran dan sangat patuh kepada gurunya sehingga mampu menerima ngelmu Kasampurnan sebagai buah kebersediaannya mencari Tirta Perwitasari di dasar samudera dalam Lakon Dewa Ruci. Dan tidak kalah lagi adiknya Arjuna yang disebut satria Lelananging Jagad (lelaki nomor 1 dunia) yang gemar bertapa dan berhasil menjadi Satria Pinandhita dan berhak menerima wahyu Makutha Rama yang akan menurunkan raja-raja. Begitu juga dengan bungsu pandawa sang Nakula dan Sadewa yang selalu patuh pada ibu dan saudara tua mereka berdua.
Sedangkan Kurawa adalah para satria yang bertindak angkara murka. Mereka antara lain adalah Duryudana yang merupakan Raja angkuh dan tidak mau mengakui kesalahannya dengan mengembalikan kerajaan Astina kepada Pandawa. Adiknya Dursasana adalah seorang yang besar mulut, suka minum minuman keras dan pernah menelanjangi Drupadi (isteri Yudistira) ketika Pandawa kalah bermain dadu. Kurawa yag merupakan 100 bersaudara dibantu Patih Sengkuni. yang licik dan pandai tipu muslihat.
Ramayana adalah cerita tentang peperangan antara Prabu Ramawijaya yang dibantu Anoman, Sugriwa dan tentara kera melawan Raja kerajaan Alengka. Yaitu Seorang raja raksasa bernama Rahwana atau Dasamuka. Prabu Ramawijaya adalah seorang kesatria dan raja kerajaan Pancawati yang adil. Karena keadilannya dia dinyatakan sebagai titisan dewa Wisnu. Juga adiknya bernama Lesmana adalah satria yang setia mendukung mengambil haknya hingga mengorbankan dirinya untuk tidak menikah. Sedangkan Rahwana adalah raja bertubuh raksasa yang berwatak bengis dan angkara murka. Dia pernah menyerang kerajaan para dewa hingga membuat ketakutan para dewa dan berambisi menguasai dunia.
Dua cerita di atas melahirkan dua kesatria sejati yang rela meneteskan darah dan mengorbankan nyawanya untuk membela tanah air. Yaitu Negara dimana keduanya hidup, minum airnya, menghirup udaranya, dan makan dari hasil buminya. Anehnya, dua satria simbol kepahlawanan itu tidak berasal dari golongan pembela kebenaran atau di dunia Pakeliran disebut Bala Kanan, tetapi dari Bala Kiri atau golongan orang-orang jahat. Itu artinya jika dalam Mahabarata satria sejati itu berasal dari pihak Kurawa , dan dalam Ramayana berasal dari pihak Rahwana.
Satria sejati dalam mahabarata itu adalah Adipati Karna yang mempunyai nama lain Basukarna dan Surya Atmaja. Dia bersedia berada di pihak Kurawa dan membelanya karena sejak kecil hidup di negeri kurawa yaitu Kerajaan Astina. Di kerajaan Duryudana itu dia tumbuh dewasa hingga memperoleh kamukten berupa kedudukan sebagai Adipati di Kerajaan Awangga. Adipati Karna berprinsip “Right or wrong is my Country” sehingga dia harus membela Negara itu hingga tetes darah penghabisan. Tragisnya Adipati Karna sebenarnya saudara seibu dengan para Pandawa. Dia putra pertama Dewi Kunthi dengan Bathara Surya sehingga nama lainnya Surya Atmaja (artinya : putra surya). Kemudian dinamakan Karna (artinya: telinga) karena lahir melalui telinga Dewi Kunthi, kemudian dihanyutkan ke sungai dan di temukan seorang kusir kerajaan Astina bernama Adirata.
Diceritakan ketika masa perang Baratayuda sudang berlangsung beberapa hari, Kurawa menderita kekalahan. Senopatinya selalu mengalami kekalahan termasuk Resi Bisma yang terkenal tidak bisa mati. Duryudana semakin ciut nyali dan ingin menghentikan perang serta mengaku kalah kepada Pandawa. Saat itulah Adipati Karna maju dan menyatakan siap menjadi senopati untuk memimpin pasukan kurawa memerangi Pandawa. Dia memberi semangat kepada Duryudana agar tidak menyerah karena bukan watak seorang satria dan akan merendahkan martabat dan derajatnya sebagai Raja Besar. Sehingga Duryudana mengangkat Adipati Karna sebagai senopati perang. Adipati Karna maju ke medan perang karena membela Negara Astina yang telah menghidupinya. Tanah tumpah darah itu dia bela hingga akhirnya bertemu dengan adiknya Arjuna di medan perang. Adipati Karna akhirnya memperoleh cita-citanya untuk mati secara kesatria di medan perang dalam rangka membela tanah tumpah darahnya.
Satria sejati dalam Ramayana adalah Kumbakarna. Dia adik Rahwana yang bersedia mengangkat senjata melawan Prabu Ramawijaya bukan karena membela Rahwana yang nyata-nyata bersalah menculik Dewi Shinta istri Ramawijaya, namun hanya ingin membela tumpah darahnya kerajaan Alengka yang diserang Prabu Ramawijaya dan tentaranya. Itu dibuktikan dengan ketidakbersediaannya ikut jejak adiknya Wibisana bergabung Prabu Ramawijaya dan diangkat menjadi penasehat perang. Selain itu untuk membuktikan niat sucinya, ketika maju ke Medan Perang memakai pakain Putih dan kalung bunga melati putih. Sampai akhirnya Kumbakarna bertemu pasukan Prabu Ramawjaya yang dibantu para Wanara (tentara kera) sehingga banyak jatuh korban dipihak Prabu Ramawijaya. Hal itu menjadikan Prabu Ramawijaya ingin mengakhiri perlawaanan Kumbakarna, sehingga ia memanah lengan kanan Kumbakarna, disusul lengan kiri, kaki kanan, kaki kiri dan terakhir lehernya hingga akhirnya Kumbakarna memperoleh cita-citanya mati secara satria demi membela tanah tumpah darahnya. Sebagai titisan Wisnu Prabu Ramawijaya tahu bahwa Kumba karna memeranginya bukan karena memusuhinya tetapi menunaikan darma bakti seorang satria.
Kita bangsa Indonesia memiliki pahlawan nasional namany mirip dengan dua kesatria diatas. Yaitu sama-sama memiliki nama Karna (baca dalam bahasa jawa: Karno). Beliau adalah Sang Proklamator bangsa ini dan presiden pertama Republik Indonesia. Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, ternyata sangat menyukai pagelaran wayang kulit dan mengidolakan tokoh Adipati Karna. Sehingga sangat mungkin perjuangan dan kehidupan Bung Karno terinspirasi oleh tokoh Adipati Karna.
Sejak zaman penjajahan belanda Bung Karno sudah berjuang membela bangsanya. Pledoinya berjudul “Indonesia Menggugat” telah menghantarkan dirinya ke tahanan pemerintah Hindia Belanda pada Desember 1929 dan bebas 31 Desember 1931. Pada agustus 1933 beliau ditangkap lagi dan dibuang ke Flores. Kemudian pada tahun 1938-1942 dipindahkan ke Bengkulu. Masa muda Bung Karno dilalui dari penjara satu ke penjara lain dan dari tempat pembuangan satu ke tempat pembuangan lain. Itu merupakan resiko dari jalan hidup pilihannya. Sebuah jalan perjuangan menbela bangsanya dari penjajahan bangsa lain. Beliau begitu akttif dalam pergerakan bersama para pejuang pergerakan lainnya hingga berhasil mengantarkan bangsa Indonesia mencapai Kemerdekaan. Selanjutnya rakyat memeberikan amanah kepada beliau untuk memimpin Republik ini. Sebagai presiden pertama sebuah Negara yang baru merdeka tentu sangat besar tantangannya, hingga diakhir perjalanan perjuangannya beliau meninggal dalam status ‘tahanan’ Wisma Yaso di republik yang sangat beliau cintai.
Diantara Adipati Karna, Kumbakarna dan Soekarno ada kemiripan ada kemiripan citra hidup. Dua Karno yang pertama mungkin hanya ada dalam cerita, tetapi Bung Karno merupakan pelaku sejarah Negara ini. Mereka sama-sama berwatak satria yang rela berkorban demi bangsa dan negaranya.
Adipati Karna di mata umum adalah orang jahat karena membela orang jahat. Tetapi di mata titisan Dewa Wisnu yaitu Prabu Kresna merupakan seorang satria sejati. Itu dibuktikan ketika dalam lakon “Kresna Duta Pamungkas” dia pernah diajak Prabu Kresna untuk dipihak adik-adiknya para Pandawa. Dia tetap bersikukuh membela negeri tempatnya hidup. Selain itu ada rahasia yang hanya boleh diketahui titisan Dewa Wisnu yaitu keinginannya menghancurkan angkara murka. oleh karena itu perang Baratayuda harus terjadi. Sedangkan Duryudana tidak berani perang tanpa ada dirinya. Untuk berperang dipihak kurawa sebenarnya untuk kemuliaan adik-adiknya para Pandawa. Dia rela menjadi ‘tumbal” demi tegaknya kebenaran dan keadilan.
Begitu juga dengan Kumbakarna walau tetapi tujuannya tidak membela Rahwana tetapi semata-mata menuanaikan darma bakti sebagai seorang satria yang wajib membela negaranya ketika Negara diserang musuh.
Tidak jauh berbeda dengan Bung Karno yang perjalanan panjangnya sebagai pejuang meninggal dalam setatus ‘tahanan’ republik yang belia perjuangkan. Ini mungkin pilihan hidup Bung Karno dan jalan beliau mengakhiri hidupnya. Tetapi kita sebagai bangsa akan selalu melihat dan mengenang beliau sebagai pejuang sejati dengan rasa kemanusiaan tinggi yang menjadikannya tidak rela melihat bangsanya terttindas. Pengorbanan beliau yang dengan rela hidup dalam penjara dan pembuangan merupakan bukti ketulusan hatinya dalam membela negaranya.
Bung Karno yang mengidolakan tokoh Adipati Karna yang rela dianggap sebagai orang jahat (bersalah) demi tujuan mulia dan keselamatan Negara. Niat mulianya tidak perlu diketahui orang lain karena ia hanya ingin hidup dan mati sebagaimana yang dicitakan. Yaitu kejayaan daan kesejahteraan bangsa dan negaranya.
Selanjutnya kita ketahui pada jaman dulu kita mempunyai banyak pahlawan dan pejuang sejati. Di jaman Nusantara lama ada Gajah Mada dengan Amukti Palapa-nya yang tidak akan menikmati enaknya makan sebelum mempersatukkan Nusantara. Di jaman penjajahan ada Cut Nyak Dien, P. Dponegoro, Patimura, Trunojoyo dan lain-lain. Jaman ada dr. sutomo, HOS Cokro Aminoto, Tan Malaka, dan masih banyak lagi. Begitu juga jaman revolusi ada Bung Tomo, Jendral Sudirman, Urip Sumoharjo, dan lainnya. Mereka semua berjuang tanpa ada ambisi kekuasaan. Cita-cita mereka hanya kemerdekaan bangsa dan mempertahannkanya. Banyak diantara mereka baik yang dikenal maupun tidak banyak yang tidak sempat menikmati hasil perjuangannya. Dan lebih tragis lagi ada yang terbunuh oleh tentara Republik yang mereka dulu diperjuangkannya. Dan ada juga yang meninggal dalam setatus tahanan oleh pemerintah Negara yang dicintainya.
Patriotisme yang dimiliki para pahlawan itu saat ini mulai luntur. Bahkan nyaris hilang dari kepribadian bangsa. Krisis kepahlawanan itu tidak hanyamelanda generasi tua tetapi sudah menjadi penyakit kronis generasi muda sebagai generasi penerus. Sebagai akibatnya nasib bangsa ini layaknya bangsa terjajah dan jarang sekali rakyat yang memperjuangkannya.
Untuk itu di hari pahlawan ini marilah kita kumpulkan energi yang masih tersisa membangun kembali kepribadian dan watak patriotisme bangsa kita. Kita tumbuh suburkan jiwa kepahlawanan untuk membangun negeri tercinta.
Kita tidak ingin dianggap pahlawan karena bagi sang pahlawan tidak ada gunanya disebut sebagai pahlawan. Kita tidak ingin kedudukan karena bukan itu bukan itu yang diharapkan sang pahlawan. Kita hanya ingin membangun negeri tercinta ini. Membawa raktanya ke dalam kesejahteraan dan keadilan. Bersama dengan bangsa Indonesia di dunia dan alam baka.

Seja o primeiro a comentar

About Me

Foto saya
saya dilahirkan oleh kanjeng ibu di pesisir selatan pulau Jawa yang memiliki pantai dengan nama JOLOSUTRO. sebagai putra pesisir sekaligus pedalaman saya besar menjadi seorang yang tetap bergaya nggunung dan ndeso namun berusaha menjadi pemikir berwawasan luas dan berperadaban adiluhung.berusaha untuk mewujudkan masyarakat yang berbudaya modern dengan tetab menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Followers

KI AGENG JOLOSUTRO © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO