07 September 2010

HASEHAT2 SYAIKH ABU HASAN ASY SYADZILI

Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya ” Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya. “Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan!

Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): “Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkn keridhoan Allah, dan jangan duduk dimajelis kecuali yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah.”

Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ihtiar sendiri.

Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya.

Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala’ yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahan nya didalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya.

Sedikit amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal.

Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu’min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : “Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.

BERTUHANKAN ALLAH, BERSYARIATKAN SYARIAT MUHAMMAD SAW

18 Juli 2010

Para Wali, Politisi, dan Mesin Cuci

Mohamad Sobary

KAIN Bengkulu, kain Semarang, lain dulu lain sekarang. Ringkasnya,
zaman berubah, musim berganti. Dalam hidup, pendeknya, segala sesuatu
berganti, memperbarui diri atau diperbarui, berubah atau diubah. Hanya
perubahan yang tak pernah berubah.

Akan tetapi, bagaimana kita memahami ungkapan nothing is really new
under the sun yang menyatakan kebalikannya? Mungkin ini: zaman
Soekarno-Hatta bukan zamannya Soeharto-Habibie, bukan zaman Gus
Dur-Mbak Mega. Juga bukan zamannya anak-cucu yang kelak mewarisi
negeri kita ini.

Perubahan ini nyata. Tetapi, di tiap zaman yang berubah itu ada
sesuatu yang relatif tetap: tiap zaman, kapan saja, menuntut, mungkin
juga menagih, kesetiaan kita kepada Tanah Air. Kesetiaan itu wajib
dibuktikan dalam tindakan nyata, dan kita pun diingatkan, dalam tiap
tindakan diperlukan pengorbanan. Mungkin kita berkorban waktu, mungkin
tenaga, mungkin pikiran. Tetapi bisa juga korban jiwa, menjadi martir,
atau suhada, yang suci karena membela keluhuran.

Kadar tiap orang berbeda. Di zaman Soeharto dulu, ketika kekerasan
demi kekerasan menjadi ancaman terselubung, tetapi nyata, dan
menggetarkan banyak pihak yang tak disukai pemerintah, banyak kiai NU
di kawasan pantai Utara Jawa yang memiliki kepedulian mendalam dan
sungguh-sungguh terhadap ketenteraman hidup masyarakat dan kedamaian
di antara sesama warga negara.

Kepedulian itu mereka wujudkan dalam respons kebudayaan khas kaum
rohaniwan. Ada yang berkumpul bersama dan berdoa, hingga ibaratnya
mereka menangis meminta-minta pada Tuhan agar bala bencana tak
ditimpakan pada kita, sebuah negara yang stabil, tetapi rapuh dan
menakutkan, dan rakyatnya hidup sebagai kaum tertindas terus-menerus.

Ada pula yang menyendiri, berkhalwat, dan tak mengucapkan kata buruk,
tak berpikir buruk, apa lagi berbuat keburukan di muka bumi yang
diharamkan Tuhan. Tidak. Mereka berdoa, berdoa, dan berdoa, memohon
secara khusus agar kita, sebagai bangsa yang sungguh rapuh, tak ditiup
badai dari langit sebagai simbol kutukan atas dosa-dosa kita. Kutukan
itu mengerikan.

Mereka bagaikan bersahut-sahutan dengan para malaikat yang
melayang-layang di angkasa tanpa bobot, sambil memuji kemahasucian
Tuhan, dari pagi, sampai siang, sampai sore, sampai malam, sampai pagi
lagi. Terus- menerus.

Dengan jiwa khusuk, dan mendalam, dan sangat pribadi, para rohaniwan
itu lapor ke hadirat Tuhan yang maha pemurah dan maha memahami, bahwa
sungguh telah banyak kerusakan kita perbuat di muka bumi, dan bahwa
banyak orang berbuat dosa, tetapi tak merasa bahwa mereka berbuat
dosa.

"Siapa gerangan yang menyuruh para kiai ini berbuat seperti itu?"
Tidak ada. Rohaniwan bukan pesuruh. Tak ada seorang pun jaksa, atau
polisi, bisa menangkap mereka karena-misalnya-mereka tak berbuat
begitu. Tindakan itu mereka lakukan bukan karena kewajiban hukum yang
melekat di pundak mereka, melainkan karena kewajiban etis yang
menempel di hati yang selalu dilatih untuk peka, dan memiliki empati
mendalam, terhadap sesama. Juga karena-sekali lagi-mereka hendak
mencoba mewujudkan kesetiaan mereka pada keharusan-keharusan etis
dalam hidup, demi keutuhan kita sebagai sebuah bangsa yang turun
derajat pelan-pelan, tetapi pasti, ke tingkatan memalukan.

Mereka paling paham akan idiom, dan ajaran, bahwa bangsa manusia
diciptakan Tuhan dalam wujud seindah-indahnya ciptaan, tetapi bila
ingkar, kufur, dan berbuat aniaya, maka turunlah derajat mereka ke
tingkatan lebih rendah dari hewan melata.

"Astaghfirullah, duh Gusti, nabi-nabi, para wali dan semua orang
suci." Kira-kira itu salah satu keluhan mereka.

Belum lama ini, juga di Jawa Tengah, saya diperkenalkan dengan
sejumlah orang saleh, dari kalangan kaum nahdliyin, yang sebagian
disebut waliullah. Rata-rata mereka mencoba menyendiri untuk menghirup
udara rohaniah yang bersih, agar rasa, jiwa, dan kepekaan mereka makin
tinggi, dan makin tajam menangkap sinyal-sinyal kelangitan yang
mengabarkan bakal datangnya bala bencana bagi bangsa dan negara, tak
lama lagi.

Mereka pun mohon ampunan Tuhan, atas kelalaian banyak kalangan di
masyarakat. Mereka bertobat, dan mengakui kesalahan dan dosa-dosa yang
tak mereka perbuat sendiri, dengan permohonan agar tobat mereka,
pengakuan mereka, ketulusan mereka, merembes ke masyarakat luas, dan
banyak kalangan terhindar dari bala yang bakal turun sebagai kutukan.

Betapa menakutkannya kata kutukan itu bagi mereka yang rendah hati,
dan peka akan halal-haram, dan hak-bathil dalam wawasan keagamaan.
Para rohaniwan ini hidup dalam kesederhanaan yang sukar dibayangkan
masyarakat kota, yang cenderung angkuh, materialistis, serba duniawi,
dan rakus, seolah seluruh isi dunia hendak mereka tenggak dalam sekali
telan. Padahal, setelah materi terkumpul, yang mereka dapatnya cuma
penyakit demi penyakit yang hampir tak ada obatnya.
Sebabnya-setidaknya sebagian-karena penyakit mereka tak terletak di
dalam tubuh, melainkan dalam jiwa yang makin kotor, makin merana, dan
gersang, sebab jiwa, yang mestinya diberi santapan-santapan jiwa dan
siraman rohani, mereka beri makanan berupa materi yang tak terkunyah
oleh jiwa.

Saya kagum akan para wali ini. Siang malam, tiap ingat mereka, jiwa
saya tergetar oleh pesona kesederhanaan, kerendahan hati, dan
kesalehan tersembunyi, yang tak boleh orang mengetahuinya. Kaum
nahdliyin menyebut mereka wali mastur, wali yang menyembunyikan
kewalian mereka di mata umum. Cukuplah Allah sebagai saksi kewalian
itu.

Di Jakarta, keadaan sebaliknya. Para politisi kita, di parlemen maupun
di lembaga-lembaga eksekutif, atau di partai-partai yang tidak, atau
belum, terwakili, suaranya bukan main mengerikan. Ngaku-nya politisi,
tetapi tak bisa berpolitik untuk merebut simpati dan hati rakyat, agar
di dalam jiwa rakyat nama-nama mereka terpatri dan dicintai.

Wakil rakyat itu tiap hari kerjanya mengintimidasi rasa aman dan
kesenangan yang susah payah dibangun oleh rakyat sendiri. Mereka
mengelus-elus kata demokrasi sebagai jimat suci, tetapi jimat itu
disalahgunakan untuk membunuh pihak lain. O..., wahai para politisi,
betapa mengerikannya ulahmu. Cobalah mengaca diri di wajah para wali
itu. Di sana, kau akan tahu, betapa seram wajahmu.

Mesin cuci yang kau ributkan itu bisa mencuci bajumu, tetapi tidak
jiwamu. Tak bisa. *
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/06/23/0033.html

12 Juli 2010

Mbah Mad Watucongol Tutup Usia

09/07/2010 08:38:22
MAGELANG (KR) - Ribuan peziarah dari berbagai daerah, Kamis (8/7) melepas pemberangkatan jenazah KH Achmad Abdul Haq Dalhar atau Mbah Mad Watucongol menuju peristirahatan terakhirnya di kompleks makam Santren Desa Gunungpring Muntilan. Ulama besar dan kharismatik pengasuh Pondok Pesantren ‘Darussalam’ Watucongol Muntilan ini puput yuswa dalam usia 82 tahun, Kamis sekitar pukul 05.05 setelah sebelumnya sempat dirawat di RS Harapan Kota Magelang sejak Selasa (6/7) sore.
Hadir dalam acara pemberangkatan jenazah Mbah Mad diantaranya KH Maemun Zubair dari Sarang Rembang, KH Hamid Baedowi dari Rembang, Drs H Lukman Syaifuddin Zuhri (Wakil Ketua MPR RI), Bupati Magelang Ir H Singgih Sanyoto, Bupati Wonosobo, Walikota Magelang, Ketua DPRD Kabupaten dan Kota Magelang maupun lainnya.
Beberapa saat menjelang jenasah Mbah Mad diberangkatkan, seluruh putra, putri, menantu, cucu dan cicit berkumpul di dalam masjid tempat disemayamkannya jenazah. Setelah tali kafan dilepas dan lembaran kain kafan penutup bagian wajah jenazah dibuka KH Agus Aly Qayshor Ahmad Abdul Haq, salah satu putra almarhum yang akrab dipanggil Gus Aly, satu per satu putera, puteri, menantu, cucu dan cicit Mbah Mad secara bergantian mencium wajah Mbah Mad.
Menurut Gus Aly, Selasa siang lalu kondisi kesehatan Mbah Mad agak kurang enak dan sekitar pukul 16.00 dibawa masuk ke RS Harapan Kota Magelang. Almarhum meninggalkan 7 anak, 33 cucu dan 10 cicit.

Pengasuh Ponpes Watucongol Meninggal Dunia

Kamis, 08 Juli 2010 10:56 WIB
ANTARA/Hari Atmoko/wt
MAGELANG--MI: Ulama berpengaruh yang juga pimpinan Pondok Pesantren Darussalam Watucongol, Desa Gunungpring, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, KH Ahmad Abdul Haq Dalhar (Mbah Mad) meninggal dunia di Rumah Sakit Harapan Kota Magelang, Kamis )8/7), karena sakit.

"Tadi pagi sekitar pukul 05.00 WIB beliau meninggal dunia. Kemarin sore dibawa ke rumah sakit," kata KH Choirul Muna (Gus Muna), salah seorang menantu almarhum, di Magelang.

Ia mengatakan, Mbah Mad memiliki tiga istri yakni Hajah Jamilah (almarhum), Hajah Istianah (almarhum), dan Hajah Cofsoh, sembilan anak yang dua di antaranya sudah meninggal dunia, 32 cucu, dan 10 cicit.

Pemakaman jenazah di Pekuburan Santren, Desa Gunungpring, relatif tak jauh dari kompleks ponpes itu Kamis, sekitar pukul 15.00 WIB.

Ponpes kultural itu didirikan oleh ayah Mbah Mad, almarhum Ahmad Dalhar, ulama kharismatik pada zamannya yang juga keturunan Raja Amangkurat Mas berasal dari Kerajaan Mataram.

Ia mengatakan, kondisi kesehatan Mbah Mad pada Rabu (7/7) cenderung menurun sehingga sekitar pukul 17.00 WIB pihak keluarga memutuskan untuk dibawa ke RS Harapan Kota Magelang guna memperoleh perawatan.

Selama 20 tahun terakhir, katanya, Mbah Mad terserang stroke. "Selama 20 tahun terakhir beliau mengalami stroke, namun ketahanan fisik beliau memang mengagumkan," kata Gus Muna yang juga pengasuh Ponpes Mambaul Tempuran, Kabupaten Magelang.

Para kiai berpengaruh berasal dari berbagai ponpes besar di Indonesia saat ini, katanya, pernah menjadi santri di ponpes setempat.

Ia mengatakan, Mbah Mad adalah tokoh spiritual dan kharismatis yang berpengaruh sehingga relatif banyak tokoh nasional dan pejabat negara termasuk berasal dari pemerintah pusat di Jakarta sering melakukan kunjungan untuk meminta nasihat.

Pada kesempatan itu ia menyebut sejumlah tokoh nasional yang pernah mengunjungi Mbah Mad seperti Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, Wiranto, dari para menteri.

"Bahkan Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) semasa masih aktif dinas di kemiliteran dengan pangkat kapten pernah datang kepada Mbah Mad," katanya.

Relatif banyak menteri kabinet semasa Pemerintahan Orde Baru, katanya, juga mengunjungi Mbah Mad.

Mbah Mad juga menjadi Ketua Peguyuban Umat Beragama Kabupaten Magelang yang beranggotakan kalangan pimpinan lintas agama.

Kepemimpinan dan kebijakan Mbah Mad, katanya, patut menjadi teladan berbagai kalangan masyarakat.

"Kepada anak-anaknya, beliau lebih banyak memberikan nasihat tentang kebaikan dan pengarahan secara tepat atas rencana dan cita-cita anak-anaknya," katanya.

Mbah Mad memiliki sedikitnya 300 ribu jamaah yang tersebar di berbagai daerah khususnya di wilayah eks-Keresidenan Kedu (Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Temanggung, Wonosobo, Purworejo, Kebumen).

Para santri ponpes setempat kini berjumlah kira-kira 700 orang yang terdiri atas 400 laki-laki dan 300 perempuan berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

"Beliu tidak sekadar menyampaikan ajaran agama dan ibadah tetapi juga olah jiwa terutama kepada para santrinya," katanya.

Hingga sekitar pukul 10.00 WIB masyarakat sekitar ponpes setempat dan jamaah berasal dari berbagai daerah melayat di rumah duka. Mereka secara bergiliran terlihat shalat jenazah Mbah Mad yang disemayamkan di aula ponpes setempat. (Ant/Ol-3)

10 Mei 2010

Pagelaran Wayang : Antara Tontonan dan Tuntunan

Wayang purwa atau wayang kulit adalah seni tradisional bangsa Indonesia yang berhasil mendunia. Selain sebagai seni, wayang diakui sebagai kebudayaan yang tidak hanya merupakan hiburan sebagaimana seni-seni pertunjukan pada umumnya, tetapi memiliki pesan dan arti adiluhung. Hal itu mungkin dikarenakan unsur-unsur yang melatarbelakangi pagelaran wayang tidak hanya dari dimensi lahiriah tetapi juga batiniah. Mulai dari pembuatan wayang, sekenario, cerita, sampai pementasan tidak lepas dengan apa yang disebut sebagai lelaku.
Pembuat wayang tidaklah sekedar mengambar atau mengukir (menatah) wayang. Selain memahami dunia wayang juga paham watak dan prilaku manusia karena tokoh-tokoh wayang merupakan gambaran manusia beserta watak dan perilakunya. Begitu juga dengan pembuat sekenario atau cerita yang merupakan orang-orang ahli laku (ahli olah batin dan rasa). Seperti lakon Dewa Ruci yang penggagas awalnya adalah Sunan Kalijaga yang diakui sebagai Guru Agung Tanah Jawa. Belum lagi dalang yang berperan memainkan wayang yang diakui sebagai orang yang mumpuni. Itu karena sebenarnya menggelar wayang ibarat menggelar jagad (alam semesta) sehingga diperlukan kemampuan selain menguasai ilmu pedhalangan juga ilmu olah rasa. Tak aneh jika ada dalang sebelum mementaskan lakon tertentu sebelumya harus tapa kungkum di bengawan solo.
Hal-hal itulah yang mungkin menjadikan pertunjukan wayang diakui sebagai tontonan dadi tuntunan, karena merupakan apresiasi dan ekspresi lelaku dengan menampilkan lakon-lakon yang dapat menjadi patuladan (contoh atau suri tauladan) dan bimbingan (tuntunan) bagi manusia untuk memahami dan menjalani lelakon Dunia. Dan dari pemahaman itu melahirkan kearifan untuk mengemban tugas besar sebagai khalifah Allah yang misinya Memayu hayuning bawana (memelihara keindahan dan kesejahteraan alam semesta).
Pagelaran wayang mempersonifikasikan eksistensi kehidupan manusia dari tiada menjadi ada dan untuk kemudian tiada lagi. Hal itu dilambangkan dengan dikeluarkannya wayang dari kothak penyimpan wayang, untuk kemudian dimainkan sesuai dengan lakon dan kemudian dimasukan kembali ke dalam kothak. Selesai pagelaran semua wayang (sebagai simbol manusia) beserta perlengkapannya (sebagai lambang amal perbuatan) dimasukan ke dalam kothak (simbol liang lahat). Sedangkan kelir pagelaran sebagai gambaran alam semesta digulung sehingga pentas menjadi kosong seperti sediakala sebagai gambaran hari kiamat.
Namun pagelaran ini sekarang sering mengalami perubahan. Babak dan adegan dalam pagelaran tidak seperti pakem pedhalangan yang ada. Mungkin saja ini sebuah bentuk improvisasi, walaupun secara tidak langsung akan merubah pesan tersirat dari sebuah pagelaran wayang.
Pagelaran wayang dapat dikatakan sebagai allegory paparan kehidupan manusia di dunia mulai dari lahir sampai dengan mati. Secara simbolis juga mengajarkan atau menggambarkan sangkan paraning dumadi. Yaitu asal mula kehidupan, hakikat kehidupan, dan tujuan akhir kehidupan. Sehingga seseorang menonton pertunjukan pagelaran wayang sebenarnya melihat perjalanan hidupnya sendiri. Dan itu terlambangkan oleh jalannya cerita, tokoh dan wataknya, lagu-lagu, musik, dalang dan sebagainya.
Pagelaran wayang biasanya dilaksanakan pada malam hari walaupun terkadang ada yang siang hari. Pagelaran biasanya memakan waktu 7-8 jam. Waktu itu terbagi dalam tiga Pathet (babak) yaitu Pathet Nem, Pathet Sanga dan Pathet Manyura. Setiap babaknya terbagi lagi menjadi beberapa Jejeran 9 (adegan).
Pathet nem (enam) atau purwa misalnya dimulai pukul 21.00 sampai 24.00. ini mempersonifikasikan awal kehidupan manusia. Yaitu mulai kelahiran sampai masa kanak-kanak. Babak ini terdiri atas 6 adegan yaitu : Jejeran, Paseban Jawi, Jaranan, Perang ampyak, Sabrangan, dan Perang Gagal.
Jejeran yaitu adegan munculnya Raja didahului dua parekan (emban wanita) yang rupa dan gerak tariannya sama, dan disusul adik raja. Selesai sidang raja kembali ke kedaton dan disambut permaisuri untuk gembul bujana andrawina (makan bersama). Adegan ini menggambarkan kelahiran sang bayi (raja) dengan didahului oleh kakang kawah berwujud air ketuban yang dilambangkan dengan dua emban dan diikuti adi ari-ari yang dilambangkan dengan adik raja. Setelah sidang raja kembali ke kedaton sebagai gambaran setelah bayi keluar kembali diasuh oleh ibunya.
Paseban Jawi adalah adegan keluarnya Patih setelah mengikuti sidang di istana yang dipimpin raja pada saat Jejeran atau Paseban Jero. Patih memanggil para petinggi Negara untuk menyampaikan hasil sidang yang kemudian para petinggi melaksanakannya. Adegan ini sebagai gambaran seorang bayi atau anak yang mulai mengenal dunia luar.
Jaranan merupakan adegan pemberangkatan pasukan yang digambarkan dengan rampokan (barisan prajurit lengkap dengan persenjataan). Sebelum rampokan keluar didahului oleh Panglima dan senopati dengan menaiki kuda (jaranan), gajah, dan binatang lainnya. Adegan ini sebagai watak anak belum dewasa yang biasanya seperti watak binatang. Artinya mereka belum mengerti aturan ayang ada dan sangat mementingkan kepentingan pribadi.
Perang Ampyak adalah adegan perang yang terjadi pada saat pasukan menghadapi rintangan dalam melaksanakan perintah raja. Ini menggambarkan kehidupan anak yang mulai tumbuh dewasa dan mulai menghadapi berbagai kesukaran dan masalah kehidupan.
Sabrangan atau Jejeran Raja Sabrang yaitu raja luar yang memiliki keingingan berlawanan dengan raja. Raja sabrang dianggap sebagai lawan maka digambarkan dengan figur raksasa atau figur wayang yang bersifat batil. Adegan ini melambangkan perjalanan anak mulai dewasa tetapi perangainya masih dikuasai oleh hawa nafsu sehingga bertindak dengan emosi dan kesembronoan.
Perang Gagal yaitu adegan perang yang terjadi antara pasukan raja bertemu dengan balatentara raja sabrang. Perang ini tidak berakhir dengan kekalahan atau kemenangan, baru sekedar berpapasan dan kedua belah pihak akhirnya mencari jalan sendiri-sendiri. Adegan ini melambangkan tataran kehidupan manusia yang masih dalam fase ragu-ragu, belum mantap karena belum memiliki tujuan yang pasti.

***
Pathet Sanga menggambarkan masa dewasa yang diawali dengan adegan Gara-gara. Adegan ini di tandai dengan adanya kekacauan yang hebat, malapetaka besar dan bencana alam dahsyat. Gara-gara terjadi karena perbuatan manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap sesama dan alam sekitarnya. Semuanya hanya dapat reda setelah muncul empat punakawan (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong) yang bertugas untuk mengingatkan para majikan agar selalu berbuat baik, netepi reh kautaman, kabecikan dan selalu berbuat jujur. Babak ini terdiri dari tiga adegan yaitu Bambangan, Perang Kembang dan Jejer Sintren.
Bambangan adalah adegan munculnya seorang satria berwatak baik yang didampingi empat punakawan di tengah hutan ; atau satria dan punakawan yang sedang menghadap seorang resi atau pendita mumpuni dalam ngelmu kasampurnan. Adegan ini merupakan gambaran suatu masa kehidupan manusia dimana masa itu adalah saatnya mencari ilmu atau berguru untk mengetahui dan menggapai kesempurnaan hidup.
Perang Kembang adalah perang antara satria dengan empat raksasa yaitu Cakil, Rambut geni, Pragalba, dan Galiuk (Buto Terong). Perang ini melambangkan perang antara manusia dengan hawa nafsu. Cakil berwarna kuning gambaran nafsu supiah yang suka hidup senang utamanya saresmi (seks). Rambut geni berwarna merah sebagai simbol nafsu amarah dan kesewenang-wenangan (adigang, adigung,adiguna). Pragalba berwarna hitam personifikasi dari nafsu aluamah yang gemar makan, minum dan tidur. Dan Galiuk atau Buto Terong berwarna hijau gambaran nafsu mutmainah yang selalu takut berbuat dosa sehingga selalu meninggalkan medan perang tanpa perang karena enggan berperang dengan satria berwatak baik untuk kemudian memilih kembali ke asalnya yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa dengan puas dan ridha.
Sintren adalah adegan seorang satria yang telah menang perang sebagai gambaran manusia yang telah berhasil menguasai hawa nafsunya dan menemukan jatidirinya serta telah menemukan tujuan akhir kehidupannya.

***
Pathet Manyura adalah sebuah personifikasi kehidupan dari masa tua sampai mati. Babak ini terdiri dari 3 adegan yaitu : Jejer Manyura, Perang Brubuh, dan Tancep Kayon.
Jejer Manyura, diawali dengan munculnya tokoh utama dalam lakon yang dipentaskan menjadi gambaran manusia yang telah berhasil merumuskan tujuan hidup dan sudah dekatnya cita-cita yang diinginkan.
Perang Brubuh adalah perang besar yang memakan banyak korban di kedua belah pihak dan diakhiri dengan kemenangan tokoh utama. Adegan ini sebagai personifikasi perjalanan hidup manusia yang berhasil menyingkirkan segala rintangan dan menumpas semua hambatan hingga tercapai cita-citanya.
Tancep Kayon merupakan adegan penutup yang di dalamnya terdapat tayungan (tarian Bima), atau kadang (saudara) bayu lainnya. Bayu atau angin adalah nafas terakhir manusia saat maut menjelang. Adegan ini menggambarkan proses maut yaitu saat jiwa meninggalkan jasad atau alam fana menuju alam kelanggengan (abadi). Kemudian ditutup dengan menancapkan kayon (gunungan) di tengah-tengah kelir seperti saat pagelaran dimulai.

***

Pagelaran wayang saat ini ada istilah ngeringkes lakon (meringkas cerita) sehinga waktu yang biasanya dibutuhkan 7-8 jam berubah menjadi 2 atau 3 jam, dan bahkan hanya 1 jam. Akibatnya babak dan adegan banyak yang tidak dipentaskan dan piwulang (ajaran) sebagaimana di atas tidak tersampaikan dengan sempurna. Walaupun demikian tetap saja ini merupakan perlambang (gambaran) manusia saat ini (zaman sekarang) yang inginnya sesuatu yang instant yaitu serba cepat dan praktis. Sehingga kehidupan manusia tidak dilalui dengan proses wajar. Contohnya, banyak orang yang ingin pandai tanpa harus belajar, kaya tanpa harus bekerja dan mungkin masuk sorga tanpa harus beramal baik.
Ada lagi model perubahan system babak dan adegan tanpa mengurangi jumlah waktu pentas yang 7-8 jam. Namun terjadi adegan Limbukan (adegan banyolan antara tokoh limbuk dan cangik ibunya) dan Goro-goro (adegan bercengkrama para tokoh punakawan) yang menghabiskan waktu 1-2 jam. Belum lagi dalam adegan tersebut ditambahi dengan adanya bintang tamu pelawak atau artis terkenal.
Tampilnya pelawak biasanya dialog dengan tokoh limbuk, cangik dan punakawan dengan membawakan guyonan-guyonan di tambah dengan melayani penonton atau peggemar yang request gending (lagu). Adapun dengan artis sebagai penggembira biasanya menyanyikan lagu-lagu campursari atau bahkan lagu dangdut. Akibatnya babak dan adegan lainnya hanya dipentaskan sebagai syarat waton ora ilang (sekedar ada). Sehingga pagelaran wayang seolah-olah hanya berisi Limbukan dan Goro-goro.
Adanya perubahan jumlah jam “tayang” adegan Limbukan dan Goro-goro yang menjadi panjang menjadikan pesan moral dari pagelaran wayang tidak dapat tersampaikan secara utuh. Mungkin itu dilakukan agar pertunjukan wayang tetap eksis, karena penonton merasa jenuh jika menonton wayang sebagaimana pakem. Pertunjukan wayang akan sepi atau kalaupun ada penontonnya adalah para orang tua jika dalangnya mementaskan sama persis dengan pakem. Sangat berbeda dengan dalang yang mementaskannya dengan mau berkolaborasi dengan pelawak ataupun orkes melayu.
Perubahan system pagelaran itu sebenarnya memberi piwulang tersendiri. Sebagai bukti bahwa wayang itu lahir jiwa bangsa. Yaitu gambaran kehidupan manusia sekarang yang penuh dengan hiburan dan hidupnya hanya untuk bersenang-senang dan hura-hura. Lihat saja acara-acara televisi yang hampir 90 % terdiri dari hiburan dan sangat sedikit yang edukatif. Akibatnya manusia terlena dan dengan tanpa disadari umurnya habis hanya untuk kesia-siaan.
Jelaslah bahwa lakon-lakon wayang adalah gambaran lakon-lakon kehidupan manusia. Sehingga walaupun mengalami perubahan tetap saja memberikan pelajaran. Tetapi tetap saja wayang adalah tontonan dan jarang sekali yang menjadikannya tuntunan. Atau mungkin sudah zamannya dimana tuntunan hanya menjadi tontonan.

06 April 2010

Anand Khrisna : Sang Resi Korban Birahi

oleh : Imam Suprapto al Balitari

Sudah lama saya berfikir bahwa Anand Khrisna adalah penjahat Agama. Awalnya suka membaca tulisannya yang seakan membawa pesan damai dengan ciri khas sangat menghargai perbedaaan agama. Waktu itu saya lagi mempertajam intelektual saya sehingga sangat mengedepankan rasio dan filsafat. Namun ketika masa sudah mengajak saya mendalami spiritual ketika saya membaca buku-buku Anand Khrisna ada nuansa pencampuran ajaran agama, yang lebih tepatnya pelecehan agama.
Mungkin banyak orang ketika membaca Tulisannya tentang islam terutama tentang tasawuf akan menganggap bahwa Anand Khrisna seorang Muslim yang Alim dan Sufi. Akhirnya banyak orang mengikuti pahamnya dan menjadi pegikutnya atau minimal mengaguminya sebagi tokoh yang membawa kedamaian. Orang2 yang mengalami kegersangan spitiual akan mudah sekali tertipu karena mengira bahwa Anand Krisna Adalah Oase di padang pasir ternyata hanya Fatamorgana bahkan neraka dibaliknya.
Anand Khrisna ketika menulis tentang islam menggambarkan bahwa dia seolah-olah paham benar tentang islam. Padahal sama sekali tidak dan mungkin itu juga dirasakan oleh orang yang telah mengenyam manisnya iman. Anand tidak akan pernah bisa menyampaikan pesan nurani kedamaian seorang beriman karena dia bukan orang beriman. Sehingga walaupun dia menulis tentang islam, iman dan islam “aura “ yang lahir tulisannya adalah kekufuran yang sama sekali tank menyentuh islam.
Di lain waktu Anand Khrisna menulis tentaang Kristen yang bagi pembaca mungkin akan menganggap ia penganut ajaran Kristen. Begitu juga ketika menulis tentang ajaran-ajaran agama yang lain. Sehingga banyak orang yang mengira bahwa dia telah mempelajari dan mendalami agama-agama dunia dan menemukan jenis Spiritualnya sendiri untuk diajarkan dan disebarkan dimuka bumi. Itu nampak dari kegiatanya yang yang mengajak berdzikir, bersemadi dan yoga atau mungkin ada lainnya.
Bagi saya seorang muslim Anand Khrisna sangat berbahaya terutama bagi orang awam ketika membaca tulisannya karena akan mengacaukan Aqidah mereka. Sudah lama sebenarnya saya ingin menulis tentang dia namun tidak sempat-sempat. Dan sekarang sudah ada jawaban yang jauh lebih mumpuni bahwa dia adalah orang biadab.
Sang Begawan itupun telah tergoda dia tak sekuat Arjuna yang ketika bertapa bidadaripun tak sanggup menggodanya. Dia tak mungkin seperti kristus karena semedinya adalah pemujaan Syahwat dan birahi. Apalagi menjadi kiyai jauh……..! karena menjadi santripun dia tidak akan kuat.
Namun tak baik sekiranya buku-buku Sang Resi dihancurkan. Karena bagaimanapun juga itu sebuah karaya yang harus kita hargai dan mungkin menjadi referensi kuga pelajaran tentang penyelewengan ajaran agama-agama.
Bagi umat islam hati-hatilah ketika kita membaca buku. Baguslah semua buku dibaca tetapi lihatlah dengan hati dan sinar Ilahi. Maka akan tampak kebenaran yang Hakiki dan akan tampak kebatilan walaupun ditulis dengan tinta emas dan kata-kata manis. Ada istilah kita harus tahu bahwa itu tahi walupun dibungkus tepung, digoreng seperti KFC. Wallahu a’lam bishshawab.

03 Januari 2010

KELEDAI MEMBACA.

Cara Keledai Membaca
1 September 2009 12:37:43 | Share

Timur Lenk menghadiahi Nasrudin seekor keledai. Nasrudin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata, "Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya."

Nasrudin berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Nasrudin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya.

Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu, si keledai menatap Nasrudin. "Demikianlah," kata Nasrudin, "Keledaiku sudah bisa membaca." Timur Lenk mulai menginterogasi, "Bagaimana caramu mengajari dia membaca ?"

Nasrudin berkisah,"Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halaman untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar." "Tapi," tukas Timur Lenk tidak puas,"Bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya ?"

Nasrudin menjawab,"Memang demikianlah cara keledai membaca; hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, berarti kita setolol keledai, bukan ?"

sumber Gusmus.net

About Me

Foto saya
saya dilahirkan oleh kanjeng ibu di pesisir selatan pulau Jawa yang memiliki pantai dengan nama JOLOSUTRO. sebagai putra pesisir sekaligus pedalaman saya besar menjadi seorang yang tetap bergaya nggunung dan ndeso namun berusaha menjadi pemikir berwawasan luas dan berperadaban adiluhung.berusaha untuk mewujudkan masyarakat yang berbudaya modern dengan tetab menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Followers

KI AGENG JOLOSUTRO © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO