Mohamad Sobary
KAIN Bengkulu, kain Semarang, lain dulu lain sekarang. Ringkasnya,
zaman berubah, musim berganti. Dalam hidup, pendeknya, segala sesuatu
berganti, memperbarui diri atau diperbarui, berubah atau diubah. Hanya
perubahan yang tak pernah berubah.
Akan tetapi, bagaimana kita memahami ungkapan nothing is really new
under the sun yang menyatakan kebalikannya? Mungkin ini: zaman
Soekarno-Hatta bukan zamannya Soeharto-Habibie, bukan zaman Gus
Dur-Mbak Mega. Juga bukan zamannya anak-cucu yang kelak mewarisi
negeri kita ini.
Perubahan ini nyata. Tetapi, di tiap zaman yang berubah itu ada
sesuatu yang relatif tetap: tiap zaman, kapan saja, menuntut, mungkin
juga menagih, kesetiaan kita kepada Tanah Air. Kesetiaan itu wajib
dibuktikan dalam tindakan nyata, dan kita pun diingatkan, dalam tiap
tindakan diperlukan pengorbanan. Mungkin kita berkorban waktu, mungkin
tenaga, mungkin pikiran. Tetapi bisa juga korban jiwa, menjadi martir,
atau suhada, yang suci karena membela keluhuran.
Kadar tiap orang berbeda. Di zaman Soeharto dulu, ketika kekerasan
demi kekerasan menjadi ancaman terselubung, tetapi nyata, dan
menggetarkan banyak pihak yang tak disukai pemerintah, banyak kiai NU
di kawasan pantai Utara Jawa yang memiliki kepedulian mendalam dan
sungguh-sungguh terhadap ketenteraman hidup masyarakat dan kedamaian
di antara sesama warga negara.
Kepedulian itu mereka wujudkan dalam respons kebudayaan khas kaum
rohaniwan. Ada yang berkumpul bersama dan berdoa, hingga ibaratnya
mereka menangis meminta-minta pada Tuhan agar bala bencana tak
ditimpakan pada kita, sebuah negara yang stabil, tetapi rapuh dan
menakutkan, dan rakyatnya hidup sebagai kaum tertindas terus-menerus.
Ada pula yang menyendiri, berkhalwat, dan tak mengucapkan kata buruk,
tak berpikir buruk, apa lagi berbuat keburukan di muka bumi yang
diharamkan Tuhan. Tidak. Mereka berdoa, berdoa, dan berdoa, memohon
secara khusus agar kita, sebagai bangsa yang sungguh rapuh, tak ditiup
badai dari langit sebagai simbol kutukan atas dosa-dosa kita. Kutukan
itu mengerikan.
Mereka bagaikan bersahut-sahutan dengan para malaikat yang
melayang-layang di angkasa tanpa bobot, sambil memuji kemahasucian
Tuhan, dari pagi, sampai siang, sampai sore, sampai malam, sampai pagi
lagi. Terus- menerus.
Dengan jiwa khusuk, dan mendalam, dan sangat pribadi, para rohaniwan
itu lapor ke hadirat Tuhan yang maha pemurah dan maha memahami, bahwa
sungguh telah banyak kerusakan kita perbuat di muka bumi, dan bahwa
banyak orang berbuat dosa, tetapi tak merasa bahwa mereka berbuat
dosa.
"Siapa gerangan yang menyuruh para kiai ini berbuat seperti itu?"
Tidak ada. Rohaniwan bukan pesuruh. Tak ada seorang pun jaksa, atau
polisi, bisa menangkap mereka karena-misalnya-mereka tak berbuat
begitu. Tindakan itu mereka lakukan bukan karena kewajiban hukum yang
melekat di pundak mereka, melainkan karena kewajiban etis yang
menempel di hati yang selalu dilatih untuk peka, dan memiliki empati
mendalam, terhadap sesama. Juga karena-sekali lagi-mereka hendak
mencoba mewujudkan kesetiaan mereka pada keharusan-keharusan etis
dalam hidup, demi keutuhan kita sebagai sebuah bangsa yang turun
derajat pelan-pelan, tetapi pasti, ke tingkatan memalukan.
Mereka paling paham akan idiom, dan ajaran, bahwa bangsa manusia
diciptakan Tuhan dalam wujud seindah-indahnya ciptaan, tetapi bila
ingkar, kufur, dan berbuat aniaya, maka turunlah derajat mereka ke
tingkatan lebih rendah dari hewan melata.
"Astaghfirullah, duh Gusti, nabi-nabi, para wali dan semua orang
suci." Kira-kira itu salah satu keluhan mereka.
Belum lama ini, juga di Jawa Tengah, saya diperkenalkan dengan
sejumlah orang saleh, dari kalangan kaum nahdliyin, yang sebagian
disebut waliullah. Rata-rata mereka mencoba menyendiri untuk menghirup
udara rohaniah yang bersih, agar rasa, jiwa, dan kepekaan mereka makin
tinggi, dan makin tajam menangkap sinyal-sinyal kelangitan yang
mengabarkan bakal datangnya bala bencana bagi bangsa dan negara, tak
lama lagi.
Mereka pun mohon ampunan Tuhan, atas kelalaian banyak kalangan di
masyarakat. Mereka bertobat, dan mengakui kesalahan dan dosa-dosa yang
tak mereka perbuat sendiri, dengan permohonan agar tobat mereka,
pengakuan mereka, ketulusan mereka, merembes ke masyarakat luas, dan
banyak kalangan terhindar dari bala yang bakal turun sebagai kutukan.
Betapa menakutkannya kata kutukan itu bagi mereka yang rendah hati,
dan peka akan halal-haram, dan hak-bathil dalam wawasan keagamaan.
Para rohaniwan ini hidup dalam kesederhanaan yang sukar dibayangkan
masyarakat kota, yang cenderung angkuh, materialistis, serba duniawi,
dan rakus, seolah seluruh isi dunia hendak mereka tenggak dalam sekali
telan. Padahal, setelah materi terkumpul, yang mereka dapatnya cuma
penyakit demi penyakit yang hampir tak ada obatnya.
Sebabnya-setidaknya sebagian-karena penyakit mereka tak terletak di
dalam tubuh, melainkan dalam jiwa yang makin kotor, makin merana, dan
gersang, sebab jiwa, yang mestinya diberi santapan-santapan jiwa dan
siraman rohani, mereka beri makanan berupa materi yang tak terkunyah
oleh jiwa.
Saya kagum akan para wali ini. Siang malam, tiap ingat mereka, jiwa
saya tergetar oleh pesona kesederhanaan, kerendahan hati, dan
kesalehan tersembunyi, yang tak boleh orang mengetahuinya. Kaum
nahdliyin menyebut mereka wali mastur, wali yang menyembunyikan
kewalian mereka di mata umum. Cukuplah Allah sebagai saksi kewalian
itu.
Di Jakarta, keadaan sebaliknya. Para politisi kita, di parlemen maupun
di lembaga-lembaga eksekutif, atau di partai-partai yang tidak, atau
belum, terwakili, suaranya bukan main mengerikan. Ngaku-nya politisi,
tetapi tak bisa berpolitik untuk merebut simpati dan hati rakyat, agar
di dalam jiwa rakyat nama-nama mereka terpatri dan dicintai.
Wakil rakyat itu tiap hari kerjanya mengintimidasi rasa aman dan
kesenangan yang susah payah dibangun oleh rakyat sendiri. Mereka
mengelus-elus kata demokrasi sebagai jimat suci, tetapi jimat itu
disalahgunakan untuk membunuh pihak lain. O..., wahai para politisi,
betapa mengerikannya ulahmu. Cobalah mengaca diri di wajah para wali
itu. Di sana, kau akan tahu, betapa seram wajahmu.
Mesin cuci yang kau ributkan itu bisa mencuci bajumu, tetapi tidak
jiwamu. Tak bisa. *
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/06/23/0033.html