10 Mei 2010

Pagelaran Wayang : Antara Tontonan dan Tuntunan

Wayang purwa atau wayang kulit adalah seni tradisional bangsa Indonesia yang berhasil mendunia. Selain sebagai seni, wayang diakui sebagai kebudayaan yang tidak hanya merupakan hiburan sebagaimana seni-seni pertunjukan pada umumnya, tetapi memiliki pesan dan arti adiluhung. Hal itu mungkin dikarenakan unsur-unsur yang melatarbelakangi pagelaran wayang tidak hanya dari dimensi lahiriah tetapi juga batiniah. Mulai dari pembuatan wayang, sekenario, cerita, sampai pementasan tidak lepas dengan apa yang disebut sebagai lelaku.
Pembuat wayang tidaklah sekedar mengambar atau mengukir (menatah) wayang. Selain memahami dunia wayang juga paham watak dan prilaku manusia karena tokoh-tokoh wayang merupakan gambaran manusia beserta watak dan perilakunya. Begitu juga dengan pembuat sekenario atau cerita yang merupakan orang-orang ahli laku (ahli olah batin dan rasa). Seperti lakon Dewa Ruci yang penggagas awalnya adalah Sunan Kalijaga yang diakui sebagai Guru Agung Tanah Jawa. Belum lagi dalang yang berperan memainkan wayang yang diakui sebagai orang yang mumpuni. Itu karena sebenarnya menggelar wayang ibarat menggelar jagad (alam semesta) sehingga diperlukan kemampuan selain menguasai ilmu pedhalangan juga ilmu olah rasa. Tak aneh jika ada dalang sebelum mementaskan lakon tertentu sebelumya harus tapa kungkum di bengawan solo.
Hal-hal itulah yang mungkin menjadikan pertunjukan wayang diakui sebagai tontonan dadi tuntunan, karena merupakan apresiasi dan ekspresi lelaku dengan menampilkan lakon-lakon yang dapat menjadi patuladan (contoh atau suri tauladan) dan bimbingan (tuntunan) bagi manusia untuk memahami dan menjalani lelakon Dunia. Dan dari pemahaman itu melahirkan kearifan untuk mengemban tugas besar sebagai khalifah Allah yang misinya Memayu hayuning bawana (memelihara keindahan dan kesejahteraan alam semesta).
Pagelaran wayang mempersonifikasikan eksistensi kehidupan manusia dari tiada menjadi ada dan untuk kemudian tiada lagi. Hal itu dilambangkan dengan dikeluarkannya wayang dari kothak penyimpan wayang, untuk kemudian dimainkan sesuai dengan lakon dan kemudian dimasukan kembali ke dalam kothak. Selesai pagelaran semua wayang (sebagai simbol manusia) beserta perlengkapannya (sebagai lambang amal perbuatan) dimasukan ke dalam kothak (simbol liang lahat). Sedangkan kelir pagelaran sebagai gambaran alam semesta digulung sehingga pentas menjadi kosong seperti sediakala sebagai gambaran hari kiamat.
Namun pagelaran ini sekarang sering mengalami perubahan. Babak dan adegan dalam pagelaran tidak seperti pakem pedhalangan yang ada. Mungkin saja ini sebuah bentuk improvisasi, walaupun secara tidak langsung akan merubah pesan tersirat dari sebuah pagelaran wayang.
Pagelaran wayang dapat dikatakan sebagai allegory paparan kehidupan manusia di dunia mulai dari lahir sampai dengan mati. Secara simbolis juga mengajarkan atau menggambarkan sangkan paraning dumadi. Yaitu asal mula kehidupan, hakikat kehidupan, dan tujuan akhir kehidupan. Sehingga seseorang menonton pertunjukan pagelaran wayang sebenarnya melihat perjalanan hidupnya sendiri. Dan itu terlambangkan oleh jalannya cerita, tokoh dan wataknya, lagu-lagu, musik, dalang dan sebagainya.
Pagelaran wayang biasanya dilaksanakan pada malam hari walaupun terkadang ada yang siang hari. Pagelaran biasanya memakan waktu 7-8 jam. Waktu itu terbagi dalam tiga Pathet (babak) yaitu Pathet Nem, Pathet Sanga dan Pathet Manyura. Setiap babaknya terbagi lagi menjadi beberapa Jejeran 9 (adegan).
Pathet nem (enam) atau purwa misalnya dimulai pukul 21.00 sampai 24.00. ini mempersonifikasikan awal kehidupan manusia. Yaitu mulai kelahiran sampai masa kanak-kanak. Babak ini terdiri atas 6 adegan yaitu : Jejeran, Paseban Jawi, Jaranan, Perang ampyak, Sabrangan, dan Perang Gagal.
Jejeran yaitu adegan munculnya Raja didahului dua parekan (emban wanita) yang rupa dan gerak tariannya sama, dan disusul adik raja. Selesai sidang raja kembali ke kedaton dan disambut permaisuri untuk gembul bujana andrawina (makan bersama). Adegan ini menggambarkan kelahiran sang bayi (raja) dengan didahului oleh kakang kawah berwujud air ketuban yang dilambangkan dengan dua emban dan diikuti adi ari-ari yang dilambangkan dengan adik raja. Setelah sidang raja kembali ke kedaton sebagai gambaran setelah bayi keluar kembali diasuh oleh ibunya.
Paseban Jawi adalah adegan keluarnya Patih setelah mengikuti sidang di istana yang dipimpin raja pada saat Jejeran atau Paseban Jero. Patih memanggil para petinggi Negara untuk menyampaikan hasil sidang yang kemudian para petinggi melaksanakannya. Adegan ini sebagai gambaran seorang bayi atau anak yang mulai mengenal dunia luar.
Jaranan merupakan adegan pemberangkatan pasukan yang digambarkan dengan rampokan (barisan prajurit lengkap dengan persenjataan). Sebelum rampokan keluar didahului oleh Panglima dan senopati dengan menaiki kuda (jaranan), gajah, dan binatang lainnya. Adegan ini sebagai watak anak belum dewasa yang biasanya seperti watak binatang. Artinya mereka belum mengerti aturan ayang ada dan sangat mementingkan kepentingan pribadi.
Perang Ampyak adalah adegan perang yang terjadi pada saat pasukan menghadapi rintangan dalam melaksanakan perintah raja. Ini menggambarkan kehidupan anak yang mulai tumbuh dewasa dan mulai menghadapi berbagai kesukaran dan masalah kehidupan.
Sabrangan atau Jejeran Raja Sabrang yaitu raja luar yang memiliki keingingan berlawanan dengan raja. Raja sabrang dianggap sebagai lawan maka digambarkan dengan figur raksasa atau figur wayang yang bersifat batil. Adegan ini melambangkan perjalanan anak mulai dewasa tetapi perangainya masih dikuasai oleh hawa nafsu sehingga bertindak dengan emosi dan kesembronoan.
Perang Gagal yaitu adegan perang yang terjadi antara pasukan raja bertemu dengan balatentara raja sabrang. Perang ini tidak berakhir dengan kekalahan atau kemenangan, baru sekedar berpapasan dan kedua belah pihak akhirnya mencari jalan sendiri-sendiri. Adegan ini melambangkan tataran kehidupan manusia yang masih dalam fase ragu-ragu, belum mantap karena belum memiliki tujuan yang pasti.

***
Pathet Sanga menggambarkan masa dewasa yang diawali dengan adegan Gara-gara. Adegan ini di tandai dengan adanya kekacauan yang hebat, malapetaka besar dan bencana alam dahsyat. Gara-gara terjadi karena perbuatan manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap sesama dan alam sekitarnya. Semuanya hanya dapat reda setelah muncul empat punakawan (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong) yang bertugas untuk mengingatkan para majikan agar selalu berbuat baik, netepi reh kautaman, kabecikan dan selalu berbuat jujur. Babak ini terdiri dari tiga adegan yaitu Bambangan, Perang Kembang dan Jejer Sintren.
Bambangan adalah adegan munculnya seorang satria berwatak baik yang didampingi empat punakawan di tengah hutan ; atau satria dan punakawan yang sedang menghadap seorang resi atau pendita mumpuni dalam ngelmu kasampurnan. Adegan ini merupakan gambaran suatu masa kehidupan manusia dimana masa itu adalah saatnya mencari ilmu atau berguru untk mengetahui dan menggapai kesempurnaan hidup.
Perang Kembang adalah perang antara satria dengan empat raksasa yaitu Cakil, Rambut geni, Pragalba, dan Galiuk (Buto Terong). Perang ini melambangkan perang antara manusia dengan hawa nafsu. Cakil berwarna kuning gambaran nafsu supiah yang suka hidup senang utamanya saresmi (seks). Rambut geni berwarna merah sebagai simbol nafsu amarah dan kesewenang-wenangan (adigang, adigung,adiguna). Pragalba berwarna hitam personifikasi dari nafsu aluamah yang gemar makan, minum dan tidur. Dan Galiuk atau Buto Terong berwarna hijau gambaran nafsu mutmainah yang selalu takut berbuat dosa sehingga selalu meninggalkan medan perang tanpa perang karena enggan berperang dengan satria berwatak baik untuk kemudian memilih kembali ke asalnya yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa dengan puas dan ridha.
Sintren adalah adegan seorang satria yang telah menang perang sebagai gambaran manusia yang telah berhasil menguasai hawa nafsunya dan menemukan jatidirinya serta telah menemukan tujuan akhir kehidupannya.

***
Pathet Manyura adalah sebuah personifikasi kehidupan dari masa tua sampai mati. Babak ini terdiri dari 3 adegan yaitu : Jejer Manyura, Perang Brubuh, dan Tancep Kayon.
Jejer Manyura, diawali dengan munculnya tokoh utama dalam lakon yang dipentaskan menjadi gambaran manusia yang telah berhasil merumuskan tujuan hidup dan sudah dekatnya cita-cita yang diinginkan.
Perang Brubuh adalah perang besar yang memakan banyak korban di kedua belah pihak dan diakhiri dengan kemenangan tokoh utama. Adegan ini sebagai personifikasi perjalanan hidup manusia yang berhasil menyingkirkan segala rintangan dan menumpas semua hambatan hingga tercapai cita-citanya.
Tancep Kayon merupakan adegan penutup yang di dalamnya terdapat tayungan (tarian Bima), atau kadang (saudara) bayu lainnya. Bayu atau angin adalah nafas terakhir manusia saat maut menjelang. Adegan ini menggambarkan proses maut yaitu saat jiwa meninggalkan jasad atau alam fana menuju alam kelanggengan (abadi). Kemudian ditutup dengan menancapkan kayon (gunungan) di tengah-tengah kelir seperti saat pagelaran dimulai.

***

Pagelaran wayang saat ini ada istilah ngeringkes lakon (meringkas cerita) sehinga waktu yang biasanya dibutuhkan 7-8 jam berubah menjadi 2 atau 3 jam, dan bahkan hanya 1 jam. Akibatnya babak dan adegan banyak yang tidak dipentaskan dan piwulang (ajaran) sebagaimana di atas tidak tersampaikan dengan sempurna. Walaupun demikian tetap saja ini merupakan perlambang (gambaran) manusia saat ini (zaman sekarang) yang inginnya sesuatu yang instant yaitu serba cepat dan praktis. Sehingga kehidupan manusia tidak dilalui dengan proses wajar. Contohnya, banyak orang yang ingin pandai tanpa harus belajar, kaya tanpa harus bekerja dan mungkin masuk sorga tanpa harus beramal baik.
Ada lagi model perubahan system babak dan adegan tanpa mengurangi jumlah waktu pentas yang 7-8 jam. Namun terjadi adegan Limbukan (adegan banyolan antara tokoh limbuk dan cangik ibunya) dan Goro-goro (adegan bercengkrama para tokoh punakawan) yang menghabiskan waktu 1-2 jam. Belum lagi dalam adegan tersebut ditambahi dengan adanya bintang tamu pelawak atau artis terkenal.
Tampilnya pelawak biasanya dialog dengan tokoh limbuk, cangik dan punakawan dengan membawakan guyonan-guyonan di tambah dengan melayani penonton atau peggemar yang request gending (lagu). Adapun dengan artis sebagai penggembira biasanya menyanyikan lagu-lagu campursari atau bahkan lagu dangdut. Akibatnya babak dan adegan lainnya hanya dipentaskan sebagai syarat waton ora ilang (sekedar ada). Sehingga pagelaran wayang seolah-olah hanya berisi Limbukan dan Goro-goro.
Adanya perubahan jumlah jam “tayang” adegan Limbukan dan Goro-goro yang menjadi panjang menjadikan pesan moral dari pagelaran wayang tidak dapat tersampaikan secara utuh. Mungkin itu dilakukan agar pertunjukan wayang tetap eksis, karena penonton merasa jenuh jika menonton wayang sebagaimana pakem. Pertunjukan wayang akan sepi atau kalaupun ada penontonnya adalah para orang tua jika dalangnya mementaskan sama persis dengan pakem. Sangat berbeda dengan dalang yang mementaskannya dengan mau berkolaborasi dengan pelawak ataupun orkes melayu.
Perubahan system pagelaran itu sebenarnya memberi piwulang tersendiri. Sebagai bukti bahwa wayang itu lahir jiwa bangsa. Yaitu gambaran kehidupan manusia sekarang yang penuh dengan hiburan dan hidupnya hanya untuk bersenang-senang dan hura-hura. Lihat saja acara-acara televisi yang hampir 90 % terdiri dari hiburan dan sangat sedikit yang edukatif. Akibatnya manusia terlena dan dengan tanpa disadari umurnya habis hanya untuk kesia-siaan.
Jelaslah bahwa lakon-lakon wayang adalah gambaran lakon-lakon kehidupan manusia. Sehingga walaupun mengalami perubahan tetap saja memberikan pelajaran. Tetapi tetap saja wayang adalah tontonan dan jarang sekali yang menjadikannya tuntunan. Atau mungkin sudah zamannya dimana tuntunan hanya menjadi tontonan.

About Me

Foto saya
saya dilahirkan oleh kanjeng ibu di pesisir selatan pulau Jawa yang memiliki pantai dengan nama JOLOSUTRO. sebagai putra pesisir sekaligus pedalaman saya besar menjadi seorang yang tetap bergaya nggunung dan ndeso namun berusaha menjadi pemikir berwawasan luas dan berperadaban adiluhung.berusaha untuk mewujudkan masyarakat yang berbudaya modern dengan tetab menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Followers

KI AGENG JOLOSUTRO © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO