18 Juli 2010

Para Wali, Politisi, dan Mesin Cuci

Mohamad Sobary

KAIN Bengkulu, kain Semarang, lain dulu lain sekarang. Ringkasnya,
zaman berubah, musim berganti. Dalam hidup, pendeknya, segala sesuatu
berganti, memperbarui diri atau diperbarui, berubah atau diubah. Hanya
perubahan yang tak pernah berubah.

Akan tetapi, bagaimana kita memahami ungkapan nothing is really new
under the sun yang menyatakan kebalikannya? Mungkin ini: zaman
Soekarno-Hatta bukan zamannya Soeharto-Habibie, bukan zaman Gus
Dur-Mbak Mega. Juga bukan zamannya anak-cucu yang kelak mewarisi
negeri kita ini.

Perubahan ini nyata. Tetapi, di tiap zaman yang berubah itu ada
sesuatu yang relatif tetap: tiap zaman, kapan saja, menuntut, mungkin
juga menagih, kesetiaan kita kepada Tanah Air. Kesetiaan itu wajib
dibuktikan dalam tindakan nyata, dan kita pun diingatkan, dalam tiap
tindakan diperlukan pengorbanan. Mungkin kita berkorban waktu, mungkin
tenaga, mungkin pikiran. Tetapi bisa juga korban jiwa, menjadi martir,
atau suhada, yang suci karena membela keluhuran.

Kadar tiap orang berbeda. Di zaman Soeharto dulu, ketika kekerasan
demi kekerasan menjadi ancaman terselubung, tetapi nyata, dan
menggetarkan banyak pihak yang tak disukai pemerintah, banyak kiai NU
di kawasan pantai Utara Jawa yang memiliki kepedulian mendalam dan
sungguh-sungguh terhadap ketenteraman hidup masyarakat dan kedamaian
di antara sesama warga negara.

Kepedulian itu mereka wujudkan dalam respons kebudayaan khas kaum
rohaniwan. Ada yang berkumpul bersama dan berdoa, hingga ibaratnya
mereka menangis meminta-minta pada Tuhan agar bala bencana tak
ditimpakan pada kita, sebuah negara yang stabil, tetapi rapuh dan
menakutkan, dan rakyatnya hidup sebagai kaum tertindas terus-menerus.

Ada pula yang menyendiri, berkhalwat, dan tak mengucapkan kata buruk,
tak berpikir buruk, apa lagi berbuat keburukan di muka bumi yang
diharamkan Tuhan. Tidak. Mereka berdoa, berdoa, dan berdoa, memohon
secara khusus agar kita, sebagai bangsa yang sungguh rapuh, tak ditiup
badai dari langit sebagai simbol kutukan atas dosa-dosa kita. Kutukan
itu mengerikan.

Mereka bagaikan bersahut-sahutan dengan para malaikat yang
melayang-layang di angkasa tanpa bobot, sambil memuji kemahasucian
Tuhan, dari pagi, sampai siang, sampai sore, sampai malam, sampai pagi
lagi. Terus- menerus.

Dengan jiwa khusuk, dan mendalam, dan sangat pribadi, para rohaniwan
itu lapor ke hadirat Tuhan yang maha pemurah dan maha memahami, bahwa
sungguh telah banyak kerusakan kita perbuat di muka bumi, dan bahwa
banyak orang berbuat dosa, tetapi tak merasa bahwa mereka berbuat
dosa.

"Siapa gerangan yang menyuruh para kiai ini berbuat seperti itu?"
Tidak ada. Rohaniwan bukan pesuruh. Tak ada seorang pun jaksa, atau
polisi, bisa menangkap mereka karena-misalnya-mereka tak berbuat
begitu. Tindakan itu mereka lakukan bukan karena kewajiban hukum yang
melekat di pundak mereka, melainkan karena kewajiban etis yang
menempel di hati yang selalu dilatih untuk peka, dan memiliki empati
mendalam, terhadap sesama. Juga karena-sekali lagi-mereka hendak
mencoba mewujudkan kesetiaan mereka pada keharusan-keharusan etis
dalam hidup, demi keutuhan kita sebagai sebuah bangsa yang turun
derajat pelan-pelan, tetapi pasti, ke tingkatan memalukan.

Mereka paling paham akan idiom, dan ajaran, bahwa bangsa manusia
diciptakan Tuhan dalam wujud seindah-indahnya ciptaan, tetapi bila
ingkar, kufur, dan berbuat aniaya, maka turunlah derajat mereka ke
tingkatan lebih rendah dari hewan melata.

"Astaghfirullah, duh Gusti, nabi-nabi, para wali dan semua orang
suci." Kira-kira itu salah satu keluhan mereka.

Belum lama ini, juga di Jawa Tengah, saya diperkenalkan dengan
sejumlah orang saleh, dari kalangan kaum nahdliyin, yang sebagian
disebut waliullah. Rata-rata mereka mencoba menyendiri untuk menghirup
udara rohaniah yang bersih, agar rasa, jiwa, dan kepekaan mereka makin
tinggi, dan makin tajam menangkap sinyal-sinyal kelangitan yang
mengabarkan bakal datangnya bala bencana bagi bangsa dan negara, tak
lama lagi.

Mereka pun mohon ampunan Tuhan, atas kelalaian banyak kalangan di
masyarakat. Mereka bertobat, dan mengakui kesalahan dan dosa-dosa yang
tak mereka perbuat sendiri, dengan permohonan agar tobat mereka,
pengakuan mereka, ketulusan mereka, merembes ke masyarakat luas, dan
banyak kalangan terhindar dari bala yang bakal turun sebagai kutukan.

Betapa menakutkannya kata kutukan itu bagi mereka yang rendah hati,
dan peka akan halal-haram, dan hak-bathil dalam wawasan keagamaan.
Para rohaniwan ini hidup dalam kesederhanaan yang sukar dibayangkan
masyarakat kota, yang cenderung angkuh, materialistis, serba duniawi,
dan rakus, seolah seluruh isi dunia hendak mereka tenggak dalam sekali
telan. Padahal, setelah materi terkumpul, yang mereka dapatnya cuma
penyakit demi penyakit yang hampir tak ada obatnya.
Sebabnya-setidaknya sebagian-karena penyakit mereka tak terletak di
dalam tubuh, melainkan dalam jiwa yang makin kotor, makin merana, dan
gersang, sebab jiwa, yang mestinya diberi santapan-santapan jiwa dan
siraman rohani, mereka beri makanan berupa materi yang tak terkunyah
oleh jiwa.

Saya kagum akan para wali ini. Siang malam, tiap ingat mereka, jiwa
saya tergetar oleh pesona kesederhanaan, kerendahan hati, dan
kesalehan tersembunyi, yang tak boleh orang mengetahuinya. Kaum
nahdliyin menyebut mereka wali mastur, wali yang menyembunyikan
kewalian mereka di mata umum. Cukuplah Allah sebagai saksi kewalian
itu.

Di Jakarta, keadaan sebaliknya. Para politisi kita, di parlemen maupun
di lembaga-lembaga eksekutif, atau di partai-partai yang tidak, atau
belum, terwakili, suaranya bukan main mengerikan. Ngaku-nya politisi,
tetapi tak bisa berpolitik untuk merebut simpati dan hati rakyat, agar
di dalam jiwa rakyat nama-nama mereka terpatri dan dicintai.

Wakil rakyat itu tiap hari kerjanya mengintimidasi rasa aman dan
kesenangan yang susah payah dibangun oleh rakyat sendiri. Mereka
mengelus-elus kata demokrasi sebagai jimat suci, tetapi jimat itu
disalahgunakan untuk membunuh pihak lain. O..., wahai para politisi,
betapa mengerikannya ulahmu. Cobalah mengaca diri di wajah para wali
itu. Di sana, kau akan tahu, betapa seram wajahmu.

Mesin cuci yang kau ributkan itu bisa mencuci bajumu, tetapi tidak
jiwamu. Tak bisa. *
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/06/23/0033.html

12 Juli 2010

Mbah Mad Watucongol Tutup Usia

09/07/2010 08:38:22
MAGELANG (KR) - Ribuan peziarah dari berbagai daerah, Kamis (8/7) melepas pemberangkatan jenazah KH Achmad Abdul Haq Dalhar atau Mbah Mad Watucongol menuju peristirahatan terakhirnya di kompleks makam Santren Desa Gunungpring Muntilan. Ulama besar dan kharismatik pengasuh Pondok Pesantren ‘Darussalam’ Watucongol Muntilan ini puput yuswa dalam usia 82 tahun, Kamis sekitar pukul 05.05 setelah sebelumnya sempat dirawat di RS Harapan Kota Magelang sejak Selasa (6/7) sore.
Hadir dalam acara pemberangkatan jenazah Mbah Mad diantaranya KH Maemun Zubair dari Sarang Rembang, KH Hamid Baedowi dari Rembang, Drs H Lukman Syaifuddin Zuhri (Wakil Ketua MPR RI), Bupati Magelang Ir H Singgih Sanyoto, Bupati Wonosobo, Walikota Magelang, Ketua DPRD Kabupaten dan Kota Magelang maupun lainnya.
Beberapa saat menjelang jenasah Mbah Mad diberangkatkan, seluruh putra, putri, menantu, cucu dan cicit berkumpul di dalam masjid tempat disemayamkannya jenazah. Setelah tali kafan dilepas dan lembaran kain kafan penutup bagian wajah jenazah dibuka KH Agus Aly Qayshor Ahmad Abdul Haq, salah satu putra almarhum yang akrab dipanggil Gus Aly, satu per satu putera, puteri, menantu, cucu dan cicit Mbah Mad secara bergantian mencium wajah Mbah Mad.
Menurut Gus Aly, Selasa siang lalu kondisi kesehatan Mbah Mad agak kurang enak dan sekitar pukul 16.00 dibawa masuk ke RS Harapan Kota Magelang. Almarhum meninggalkan 7 anak, 33 cucu dan 10 cicit.

Pengasuh Ponpes Watucongol Meninggal Dunia

Kamis, 08 Juli 2010 10:56 WIB
ANTARA/Hari Atmoko/wt
MAGELANG--MI: Ulama berpengaruh yang juga pimpinan Pondok Pesantren Darussalam Watucongol, Desa Gunungpring, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, KH Ahmad Abdul Haq Dalhar (Mbah Mad) meninggal dunia di Rumah Sakit Harapan Kota Magelang, Kamis )8/7), karena sakit.

"Tadi pagi sekitar pukul 05.00 WIB beliau meninggal dunia. Kemarin sore dibawa ke rumah sakit," kata KH Choirul Muna (Gus Muna), salah seorang menantu almarhum, di Magelang.

Ia mengatakan, Mbah Mad memiliki tiga istri yakni Hajah Jamilah (almarhum), Hajah Istianah (almarhum), dan Hajah Cofsoh, sembilan anak yang dua di antaranya sudah meninggal dunia, 32 cucu, dan 10 cicit.

Pemakaman jenazah di Pekuburan Santren, Desa Gunungpring, relatif tak jauh dari kompleks ponpes itu Kamis, sekitar pukul 15.00 WIB.

Ponpes kultural itu didirikan oleh ayah Mbah Mad, almarhum Ahmad Dalhar, ulama kharismatik pada zamannya yang juga keturunan Raja Amangkurat Mas berasal dari Kerajaan Mataram.

Ia mengatakan, kondisi kesehatan Mbah Mad pada Rabu (7/7) cenderung menurun sehingga sekitar pukul 17.00 WIB pihak keluarga memutuskan untuk dibawa ke RS Harapan Kota Magelang guna memperoleh perawatan.

Selama 20 tahun terakhir, katanya, Mbah Mad terserang stroke. "Selama 20 tahun terakhir beliau mengalami stroke, namun ketahanan fisik beliau memang mengagumkan," kata Gus Muna yang juga pengasuh Ponpes Mambaul Tempuran, Kabupaten Magelang.

Para kiai berpengaruh berasal dari berbagai ponpes besar di Indonesia saat ini, katanya, pernah menjadi santri di ponpes setempat.

Ia mengatakan, Mbah Mad adalah tokoh spiritual dan kharismatis yang berpengaruh sehingga relatif banyak tokoh nasional dan pejabat negara termasuk berasal dari pemerintah pusat di Jakarta sering melakukan kunjungan untuk meminta nasihat.

Pada kesempatan itu ia menyebut sejumlah tokoh nasional yang pernah mengunjungi Mbah Mad seperti Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, Wiranto, dari para menteri.

"Bahkan Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) semasa masih aktif dinas di kemiliteran dengan pangkat kapten pernah datang kepada Mbah Mad," katanya.

Relatif banyak menteri kabinet semasa Pemerintahan Orde Baru, katanya, juga mengunjungi Mbah Mad.

Mbah Mad juga menjadi Ketua Peguyuban Umat Beragama Kabupaten Magelang yang beranggotakan kalangan pimpinan lintas agama.

Kepemimpinan dan kebijakan Mbah Mad, katanya, patut menjadi teladan berbagai kalangan masyarakat.

"Kepada anak-anaknya, beliau lebih banyak memberikan nasihat tentang kebaikan dan pengarahan secara tepat atas rencana dan cita-cita anak-anaknya," katanya.

Mbah Mad memiliki sedikitnya 300 ribu jamaah yang tersebar di berbagai daerah khususnya di wilayah eks-Keresidenan Kedu (Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Temanggung, Wonosobo, Purworejo, Kebumen).

Para santri ponpes setempat kini berjumlah kira-kira 700 orang yang terdiri atas 400 laki-laki dan 300 perempuan berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

"Beliu tidak sekadar menyampaikan ajaran agama dan ibadah tetapi juga olah jiwa terutama kepada para santrinya," katanya.

Hingga sekitar pukul 10.00 WIB masyarakat sekitar ponpes setempat dan jamaah berasal dari berbagai daerah melayat di rumah duka. Mereka secara bergiliran terlihat shalat jenazah Mbah Mad yang disemayamkan di aula ponpes setempat. (Ant/Ol-3)

About Me

Foto saya
saya dilahirkan oleh kanjeng ibu di pesisir selatan pulau Jawa yang memiliki pantai dengan nama JOLOSUTRO. sebagai putra pesisir sekaligus pedalaman saya besar menjadi seorang yang tetap bergaya nggunung dan ndeso namun berusaha menjadi pemikir berwawasan luas dan berperadaban adiluhung.berusaha untuk mewujudkan masyarakat yang berbudaya modern dengan tetab menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Followers

KI AGENG JOLOSUTRO © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO