09 Januari 2009

DIALOG SYAIKH IBNU TAIMIYYAH DENGAN SYAIKH IBNU 'ATHA'ILLAH

Bismillahi ar rahmani ar rahiim
Abu Fadl Ibn Athaillah Al Sakandari (wafat 709), salah seorang imam sufi terkemuka yang juga dikenal sebagai seorang muhaddits, muballigh sekaligus ahli fiqih Maliki, adalah penulsi karya-karya berikut: Al Hikam, Miftah ul Falah, Al Qasdul al Mujarrad fi Makrifat al ism al-Mufrad, Taj al-Arus al-Hawi li tadhhib al-nufus, Unwan al-Taufiq fi al Adad al-Thariq, sebuah biografi: Al-Lataif fi manaqib Abi al Abbas al Mursi wa sayykhihi Abi al Hasan, dan lain-lain. Beliau adalah murid Abu al Abbas Al-Musrsi (wafat 686) dan generasi penerus kedua dari pendiri tarekat Sadziliyah: Imam Abu Al Hasan Al Sadzili.
Ibn Athaillah adalah salah seorang yang membantah Ibn Taymiyah atas serangannya yang berlebihan terhadap kaum sufi yang tidak sefaham dengannya. Ibn Athaillah tak pernah menyebut Ibn Taymiyah dalam setiap karyanya, namun jelaslah bahwa yang disinggungnya adalah Ibn Taymiyah saat ia mengatakan dalam Lataif: sebagai “cendekiawan ilmu lahiriyah”.1 Halaman berikut ini merupakan terjemahan Inggris pertama atas dialog bersejarah antara kedua tokoh tersebut.
Naskah Dialog :
Dari Usul al-Wusul karya Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Katsir, Ibn Al Athir, dan penulis biografi serta kamus biografi, kami memperoleh naskah dialog bersejarah yang otentik. Naskah tersebut memberikan ilham tentang etika berdebat di antara kaum terpelajar. Di samping itu, ia juga merekam kontroversi antara pribadi yang bepengaruh dalam tsawuf: Syaikh Ahmad Ibn Athaillah Al Sakandari, dan tokoh yang tak kalah pentingnya dalam gerakan “Salafi”: Syaikh Ahmad Ibn Abd Al Halim Ibn Taymiyah selama era Mamluk di Mesir yang berada dibawah pemerintahan Sulthan Muhammad Ibn Qalawun (Al Malik Al Nasir).
Kesaksian Ibn Taymiyah kepada Ibn Athaillah
Syaikh Ibn Taymiyah ditahan di Alexandria. Ketika sultan memberikan ampunan, ia kembali ke Kairo. Menjelang malam, ia menuju masjid Al Ahzar untuk sholat maghrib yang diimami Syaikh ibn Athaillah. Selepas shalat, Ibn Athailah terkejut menemukan Ibn Taymiyah sedang berdoa dibelakangnya. Dengan senyuman, sang syaikh sufi menyambut ramah kedatangan Ibn Taymiyah di Kairo seraya berkata: Assalamualaykum, selanjutnya ia memulai pembicaraan dengan tamu cendekianya ini.
Ibn Athaillah: “Biasanya saya sholat di masjid Imam Husein dan sholat Isya di sini. Tapi lihatlah bagaimana ketentuan Allah berlaku! Allah menakdirkan sayalah orang pertama yang harus menyambut anda (setelah kepulangan anda ke Kairo). Ungkapkanlah kepadaku wahai faqih, apakah anda menyalahkanku atas apa yang telah terjadi?”
Ibn Taymiyah: “Aku tahu, anda tidak bermaksud buruk terhadapku, tapi perbedaan pandangan diantara kita tetap ada. Sejak hari ini, dalam kasus apapun, aku tidak mempersalahkan dan membebaskan dari kesalahan, siapapun yang berbuat buruk terhadapku”
Ibn Athaillah: Apa yang anda ketahui tentang aku, syaikh Ibn Taymiyah?Ibn Taymiyah : Aku tahu anda adalah seorang yg saleh, berpengetahuan luas, dan senantiasa berbicara benar dan tulus. Aku bersumpah tidak ada orang selain anda, baik di Mesir maupun Syria yang lebih mencintai Allah ataupun mampu meniadakan diri di (hadapan) Allah atau lebih patuh atas perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Tapi bagaimanapun juga kita memiliki perbedaan pandangan. Apa yang anda ketahui tentang saya? Apakah anda atau saya sesat dengan menolak kebenaran (praktik) meminta bantuan seseorang untuk memohon pertolongan Allah (istighatsah)?Ibn Athaillah: Tentu saja, rekanku, anda tahu bahwa istighatsah atau memohon pertolongan sama dengan tawasul atau mengambil wasilah (perantara) dan meminta syafaat; dan bahwa Rasulullah saw, adalah seorang yang kita harapkan bantuannya karena beliaulah perantara kita dan yang syafaatnya kita harapkan.Ibn Taymiyah: Mengenai hal ini saya berpegang pada sunnah rasul yang ditetapkan dalam syariat. Dalam hadits berbunyi sebagai: Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat. Dalam ayat al Qur’an juga disebutkan: “Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu (wahai Nabi) ke tempat yang terpuji (q.s. Al Isra : 79). Yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah syafaat. Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali ra wafat, Rasulullah berdoa pada Allah di kuburnya: “Ya Allah Yang Maha Hidup dan Tak pernah mati, Yang Menghidupkan dan Mematikan, ampuni dosa-dosa ibunda saya Fatimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan dimasukinya dengan syafaatku, utusanMu, dan para nabi sebelumku. Karena Engkaulah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun”.
Inilah syafaat yang dimiliki rasulullah saw. Sementara mencari pertolongan dari selain Allah, merupakan suatu bentuk kemusyrikan; Rasulullah saw sendiri melarang sepupunya, Abdullah bin Abbas, memohon pertolongan dari selain Allah.Ibn Athaillah : Semoga Allah mengaruniakanmu keberhasilan, wahai faqih! Maksud dari saran Rasulullah saw kepada sepupunya Ibn Abbas, adalah agar ia mendekatkan diri kepada Allah tidak melalui kekerabatannya dengan rasul melainkan dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan mengenai pemahaman anda tentang istighosah sebagai mencari bantuan kepada selain Allah, yang termasuk perbuatan musyrik, saya ingin bertanya kepada anda,” Adakah muslim yang beriman pada Allah dan rasulNya yang berpendapat ada selain Allah yang memiliki kekuasaaan atas segala kejadian dan mampu menjalankan apa yang telah ditetapkanNya berkenaan dengan dirinya sendiri?”
” Adakah mukmin sejati yang meyakini ada yang dapat memberikan pahala atas kebaikan dan menghukum atas perbuatan buruk, selain dari Allah? Disamping itu, seharusnya kita sadar bahwa ada berbagai ekspresi yang tak bisa dimaknai sebatas harfiah belaka. Ini bukan saja dikhawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan, tapi juga untuk mencegah sarana kemusyrikan. Sebab, siapapun yang meminta pertolongan Rasul berarti mengharapkan anugerah syafaat yang dimiliknya dari Allah, sebagaimana jika anda mengatakan: “Makanan ini memuaskan seleraku”. Apakah dengan demikian makanan itu sendiri yang memuaskan selera anda? Ataukah disebabkan Allah yang memberikan kepuasan melalui makanan?
Sedangkan pernyataan anda bahwa Allah melarang muslim untuk mendatangi seseorang selain DiriNya guna mendapat pertolongan, pernahkah anda melihat seorang muslim memohon pertolongan kepada selain Allah? Ayat Al quran yang anda rujuk, berkenaan dengan kaum musyrikin dan mereka yang memohon pada dewa dan berpaling dari Allah. Sedangkan satu-satunya jalan bagi kaum muslim yang meminta pertolongan rasul adalah dalam rangaka bertawasul atau mengambil perantara, atas keutamaan (hak) rasul yang diterimanya dari Allah (bihaqqihi inda Allah) dan tashaffu atau memohon bantuan dengan syafaat yang telah Allah anugerahkan kepada rasulNya.
Sementara itu, jika anda berpendapat bahwa istighosah atau memohon pertolongan itu dilarang syariat karena mengarah pada kemusyrikan, maka kita seharusnya mengharamkan anggur karena dapat dijadikan minuman keras, dan mengebiri laki-laki yang tidak menikah untuk mencegah zina.
(Kedua syaikh tertawa atas komentar terakhir ini).
Lalu Ibn Athaillah melanjutkan: “Saya kenal betul dengan segala inklusifitas dan gambaran mengenai sekolah fiqih yang didirikan oleh syaikh anda, Imam Ahmad, dan saya tahu betapa luasnya teori fiqih serta mendalamnya “prinsip-prinsip agar terhindar dari godaan syaitan” yang anda miliki, sebagaimana juga tanggung jawab moral yang anda pikul selaku seorang ahli fiqih.
Namun saya juga menyadari bahwa anda dituntut menelisik di balik kata-kata untuk menemukan makna yang seringkali terselubung dibalik kondisi harfiahnya. Bagi sufi, makna laksana ruh, sementara kata-kata adalah jasadnya. Anda harus menembus ke dalam jasad fisik ini untuk meraih hakikat yang mendalam. Kini anda telah memperoleh dasar bagi pernyataan anda terhadap karya Ibn Arabi, Fususul Hikam. Naskah tersebut telah dikotori oleh musuhnya bukan saja dengan kata-kata yang tak pernah diucapkannya, juga pernyataan-pernyataan yang tidak dimaksudkannya (memberikan contoh tokoh islam).
Ketika syaikh al islam Al Izz ibn Abd Salam memahami apa yang sebenarnya diucapan dan dianalisa oleh Ibn Arabi, menangkap dan mengerti makna sebenarnya dibalik ungkapan simbolisnya, ia segera memohon ampun kepada Allah swt atas pendapatnya sebelumnya dan menokohkan Muhyiddin Ibn Arabi sebagai Imam Islam.
Sedangkan mengenai pernyataan al Syadzili yang memojokkan Ibn Arabi, perlu anda ketahui, ucapan tersebut tidak keluar dari mulutnya, melainkan dari salah seorang murid Sadziliyah. Lebih jauh lagi, pernyataan itu dikeluarkan saat para murid membicarakan sebagian pengikut Sadziliyah. Dengan demikian, pernyataan itu diambil dalam konteks yang tak pernah dimaksudkan oleh sang pembicaranya sendiri. “Apa pendapat anda mengenai khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib?”
Ibn Taymiyah: Dalam salah satu haditsnya, rasul saw bersabda: “Saya adalah kota ilmu dan Ali lah pintunya”. Sayyidina Ali adalah merupakan seorang mujahid yang tak pernah keluar dari pertempuran kecuali dengan membawa kemenangan. Siapa lagi ulama atau fuqaha sesudahnya yang mampu berjuang demi Allah menggunakan lidah, pena dan pedang sekaligus? Dialah sahabat rasul yang paling sempurna-semoga Allah membalas kebaikannya. Ucapannya bagaikan cahaya lampu yang menerangi sepanjang hidupku setelah al quran dan sunnah. Duhai! Seseorang yang meski sedikit perbekalannya namun panjang perjuangannya.
Ibn Athaillah: Sekarang, apakah Imam Ali ra meminta agar orang-orang berpihak padanya dalam suatu faksi? Sementara faksi ini mengklaim bahwa malaikat jibril melakukan kesalahan dengan menyampaikan wahyu kepada Muhammad saw, bukannya kepada Ali! Atau pernahkah ia meminta mereka untuk menyatakan bahwa Allah menitis ke dalam tubuhnya dan sang imam menjadi tuhan? Ataukah ia tidak menentang dan memberantas mereka dengan memberikan fatwa (ketentuan hukum) bahwa mereka harus dibunuh dimanapun mereka ditemukan?Ibn Tayniyah: Berdasarkan fatwa ini saya memerangi mereka di pegunungan Syria selama lebih dari 10 tahun.
Ibn Athaillah: Dan Imam Ahmad- semoga Allah meridoinya-mempertanyakan perbuatan sebagian pengikutnya yang berpatroli, memecahkan tong-tong anggur (di toko-toko penganut kristen atau dimanapun mereka temukan), menumpahkan isinya di lantai, memukuli gadis para penyanyi, dan menyerang msayarakat di jalan.Meskipun sang Imam tak memberikan fatwa bahwa mereka harus mengecam dan menghardik orang-orang tersebut. Konsekuensinya para pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan diarak di punggung keledai dengan menghadap ekornya. Apakah Imam Ahmad bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan pengikut Hanbali, dengan dalih melarang benda atau hal-hal yang diharamkan?
Dengan demikian, Syaikh Muhyidin Ibn Arabi tidak bersalah atas pelanggaran yang dilakukan para pengikutnya yang melepaskan diri dari ketentuan hukum dan moral yang telah ditetapkan agama serta melakukan pebuatan yang dilarang agama. Apakah anda tidak memahami hal ini?
Ibn Taymiyah: “Tapi bagaimana pendirian mereka di hadapan Allah? Di antara kalian, para sufi, ada yang menegaskan bahwa ketika Rasulullah saw memberitakan khabar gembira pada kaum miskin bahwa mereka akan memasuki surga sebelum kaum kaya, selanjutnya kaum miskin tersebut tenggelam dalam luapan kegembiraan dan mulai merobek-robek jubah mereka; saat itu malaikat jibril turun dari surga dan mewahyukan kepada rasul bahwa Allah akan memilih di antara jubah-jubah yang robek itu; selanjutnya malaikat jibril mengangkat satu dari jubah dan menggantungkannya di singgasana Allah. berdasarkan ini, kaum sufi mengenakan jubah kasar dan menyebut dirinya fuqara atau kaum “papa”.
Ibn Athaillah: “Tidak semua sufi mengenakan jubah dan pakaian kasar. Lihatlah apa yang saya kenakan; apakah anda tidak setuju dengan penampilan saya?Ibn Taymiyah: “Tetapi anda adalah ulama syariat dan mengajar di Al Ahzar.”
Ibn Athaillah: “Al Ghazali adalah seorang imam syariat maupun tasawuf. Ia mengamalkan fiqih, sunnah, dan syariat dengan semangat seorang sufi. Dan dengan cara ini, ia mampu menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Kita tahu bahwa dalam tasawuf, noda tidak memiliki tempat dalam agama dan bahwa kesucian merupakan ciri dari kebenaran. Sufi yang tulus dan sejati harus menyuburkan hatinya dengan kebenaran yang ditanamkan ahli sunnah.Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi gadungan yang anda sendiri telah mengecam dan menolaknya. Dimana sebagian orang mengurangi kewajiban beribadah dan peraturan keagamaan, melonggarkan berpuasa dan melecehkan pengamalan sholat wajib lima kali sehari. Ditunggangi kemalasan dan ketidakpedulian, mereka telah mengklaim telah bebas dari belenggu kewajiban beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam Qusyairi sendiri mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar Risalah ( Risalatul Qusyairiyah ).Di sini, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni berpegang teguh pada Al Quran dan Sunnah. Imam tasawuf juga berkeinginan mengantarkan manusia pada kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat diterima akal manusia yang dapat membedakan yang benar dan salah, melainkan juga melalui penyucian hati dan pelenyapan ego yang dapat dicapai dengan mengamalkan laku spiritual.Kelompok diatas selanjutnya tersingkir lantaran sebagai hamba Allah sejati, seseorang tidak akan menyibukkan diriya kecuali demi kecintaannya pada Allah dan rasulNYA. Inilah posisi mulia yang menyebabkan seorang menjadi hamba yang shaleh, sehat dan sentosa. Inilah jalan guna membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat menodai manusia, semacam cinta harta, dan ambisi akan kedudukan tertentu.
Meskipun demikian, kita harus berusaha di jalan Allah agar memperoleh ketentraman beribadah. Sahabatku yang cendekia, menerjemahkan naskah secara harfiah terkadang menyebabkan kekeliruan. Penafsiran harfiahlah yang mendasari penilaian anda terhadap Ibn Arabi, salah seorang imam kami yang terkenal akan kesalehannya. Anda tentunya mengerti bahwa Ibn Arabi menulis dengan gaya simbolis; sedangkan para sufi adalah orang-orang ahli dalam menggunakan bahasa simbolis yang mengandung makna lebih dalam dan gaya hiperbola yang menunjukkan tingginya kepekaan spiritual serta kata-kata yang menghantarkan rahasia mengenai fenomena yang tak tampak.Ibn Taymiyah: “Argumentasi tersebut justru ditujukan untuk anda. Karena saat Imam al-Qusyairi melihat pengikutnya melenceng dari jalan Allah, ia segera mengambil langkah untuk membenahi mereka. Sementara apa yang dilakukan para syaikh sufi sekarang? Saya meminta para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kami (salafi) yang saleh dan terkemuka: para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang mengikuti langkah mereka.
Siapapun yang menempuh jalan ini, saya berikan penghargaan setinggi-tingginya dan menempatkan sebagai imam agama. Namun bagi mereka yang melakukan pembaruan yang tidak berdasar dan menyisipkan gagasan kemusyrikan seperti filososf Yunani dan pengikut Budha, atau yang beranggapan bahwa manusia menempati Allah (hulul) atau menyatu denganNya (ittihad), atau teori yang menyatakan bahwa seluruh penampakan adalah satu adanya/kesatuan wujud (wahdatul wujud) ataupun hal-hal lain yang diperintahkan syaikh anda: semuanya jelas perilaku ateis dan kafir”.
Ibn Athaillah: “Ibn Arabi adalah salah seorang ulama terhebat yang mengenyam pendidikan di Dawud al Zahiri seperti Ibn Hazm al Andalusi, seorang yang pahamnya selaras dengan metodologi anda tentang hukum islam, wahai penganut Hanbali! Tetapi meskipun Ibn Arabi seorabg Zahiri (menerjemahkan hukum islam secara lahiriah), metode yang ia terapkan untuk memahami hakekat adalah dengan menelisik apa yang tersembunyi, mencari makna spiritual (thariq al bathin), guna mensucikan bathin (thathhir al bathin).
Meskipun demikian tidak seluruh pengikut mengartikan sama sama apa-apa yang tersembunyi. Agara anda tidak keliru atau lupa, ulangilah bacaan anda mengenai Ibn Arabi dengan pemahaman baru akan simbol-simbol dan gagasannya. Anda akan menemukannya sangat mirip dengan al-Qusyairi. Ia telah menempuh jalan tasawuf di bawah payung al-quran dan sunnah, sama seperti hujjatul Islam Al Ghazali, yang mengusung perdebatan mengenai perbedaan mendasar mengenai iman dan isu-isu ibadah namun menilai usaha ini kurang menguntungkan dan berfaedah.
Ia mengajak orang untuk memahami bahwa mencintai Allah adalah cara yang patut ditempuh seorang hamba Allah berdasarkan keyakinan. Apakah anda setuju wahai faqih? Atau anda lebih suka melihat perselisihan di antara para ulama? Imam Malik ra. telah mengingatkan mengenai perselisihan semacam ini dan memberikan nasehat: Setiap kali seseorang berdebat mengenai iman, maka kepercayaannya akan berkurang.”
Sejalan dengan ucapan itu, Al Ghazali berpendapat: Cara tercepat untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui hati, bukan jasad. Bukan berarti hati dalam bentuk fisik yang dapat melihat, mendengar atau merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan menyimpan dalam benak, rahasia terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak dapat dilihat atau diraba.Sesungguhnya ahli sunnahlah yang menobatkan syaikh sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai Hujjatul Islam, dan tak seorangpun yang menyangkal pandangannya bahkan seorang cendekia secara berlebihan berpendapat bahwa Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al Quran. Dalam pandangan Ibn Arabi dan Ibn Al Farid, taklif atau kepatuhan beragama laksana ibadah yang mihrab atau sajadahnya menandai aspek bathin, bukan semata-mata ritual lahiriah saja.Karena apalah arti duduk berdirinya anda dalam sholat sementara hati anda dikuasai selain Allah. Allah memuji hambaNya dalam Al Quran:”(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sholatnya”; dan Ia mengutuk dalam firmanNya: “(Yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya”. Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Arabi saat mengatakan: “Ibadah bagaikan mihrab bagi hati, yakni aspek bathin, bukan lahirnya”.
Seorang muslim takkan bisa mencapai keyakinan mengenai isi Al Quran, baik dengan ilmu atau pembuktian itu sendiri, hingga ia membersihkan hatinya dari segala yang dapat mengalihkan dan berusaha untuk khusyuk. Dengan demikian Allah akan mencurahkan ilmu ke dalam hatinya, dan dari sana akan muncul semangatnya. Sufi sejati tak mencukupi dirinya dengan meminta sedekah.Seseorang yang tulus adalah ia yang menyuburkan diri di (hadapan) Allah dengan mematuhiNya. Barangkali yang menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibn Arabi adalah karena kritik beliau terhdap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar masalah iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru dihipotesakan (dibayangkan padahal belum terjadi).
Ibn Arabi mengkritik demikian karena ia melihat betapa sering hal tersebut dapat mengalihkan mereka dari kejernihan hati. Ia menjuluki mereka sebagai “ahli fiqih basa-basi wanita”. Semoga Allah mengeluarkanmu karena telah menjadi salah satu dari mereka! Pernahkan anda membaca pernyataan Ibn Arabi bahwa:”Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan tercurah dari lubuk hati.” “Adakah pernyataan yang seindah ini?”Ibn Taymiyah : “Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.”
*Diterjemahkan dari On Tasawuf Ibn Atha’illah Al-Sakandari: “The Debate with Ibn Taymiyah, dalam buku karya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani’s The repudiation of “Salafi” Innovations (Kazi, 1996) h. 367-379.

04 Januari 2009

PILIH GOLPUT LEBIH BAIK

Golput ?

Oleh: Alfanny
Gus Dur pun akhirnya menyerukan Golput setelah posisinya sebagai Ketua Dewan Syuro PKB sama sekali diabaikan oleh KPU dan PKB Cak Imin. Tepatkah seruan Golput -khususnya bagi warga NU- dalam konteks kekinian dan kedisinian?
Saat ini, Indonesia tengah menghadapi dua ancaman sekaligus, liberalisme ekonomi dan sekaligus konservatisme dan fasisme agama. Liberalisme ekonomi terlihat jelas dari maraknya hypermarket yang membunuh usaha kelontongan dan warung kecil. Sementara konservatisme dan fasisme agama terlihat dari aksi-aksi intoleran seperti pembakaran masjid Ahmadiyah dan menguatnya wacana khilafah islamiyah yang jelas-jelas menolak eksistensi nation-state seperti NKRI.
Liberalisme ekonomi diperparah oleh para birokrat kita –yang notabene warisan Orde Baru- yang hampir-hampir tidak punya semangat nasionalisme, dalam artian ekonomi yaitu mencintai produk dalam negeri. Harian Kompas secara satir pernah mengilustrasikan bahwa para pejabat tinggi kita lebih bangga memakai sepatu Bally daripada sepatu merk nasional. Rakyat, terutama generasi mudanya berdesak-desakan antre di loket CPNS dan “Indonesian Idol”, lebih bangga menjadi pegawai dan penyanyi daripada menjadi pengusaha.
Konservatisme dan fasisme agama pun kian mendapat tempat setelah para birokrat kita –demi meraih simpati rakyat yang mayoritas muslim- berlomba-lomba mendukung program-program kesalehan ritual-simbolik. Lahirlah perda-perda bernuansa syariat Islam yang sangat simbolik dan tidak relevan dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Di kota Tangerang, akan kita jumpai di sebuah ruas jalan bertebaran plang-plang bertuliskan asmaul husna dan slogan-slogan besar “akhlaqul karimah”. Sebuah partai Islam berideologi konservatif-radikal versi Ikhwanul Muslimin-Mesir pun kian mendapatkan tempat di masyarakat awam hanya karena sangat rajin melakukan pengobatan gratis dan pembagian sembako. Padahal Ikhwanul Muslimin di Mesir sudah lama menjadi partai terlarang sejak para kadernya yang radikal "terpancing" untuk membunuh Presiden Anwar Sadat tahun 1979. Tapi, di Indonesia ideologi Ikhwanul Muslimin tumbuh subur di tiga kampus terkemuka, UI, ITB dan UGM. Buku-buku karya ideolog Ikhwan seperti Hasan Al Banna dan Sayyid Quthb pun akan mudah kita temukan beredar di kalangan aktivis dakwah kampus-kampus tersebut.
Gejala para birokrat yang cenderung mengakomodasi kelompok konservatif-fasis agama sebenarnya bukan monopoli Indonesia. Malaysia pun melakukannya lebih dahsyat. Rezim Barisan Nasional/ UMNO yang sedang digerogoti popularitasnya oleh Anwar Ibrahim belakangan mulai memainkan kartu simbol agama untuk mempertahankan popularitasnya. Kasus pelarangan penggunaan lafadz “Allah” oleh Gereja Katolik Malaysia dan pelarangan Yoga adalah contohnya.
Lalu, siapa yang bisa kita pilih? Memang susah. Tapi, pilihlah yang “terbaik di antara yang terburuk”, toh kaidah ushul fiqh pun menyatakan “lebih baik mencegah keburukan daripada mendatangkan kebaikan”. Sebab bila para pemilih cerdas dan kritis beramai-ramai tidur pada hari pemungutan suara, maka sudah dipastikan partai-partai korup dan konservatif yang akan menang.
Kita harus belajar dari Pemilu Presiden Prancis 2002 silam. Saat itu, secara dramatis, kandidat Partai Sosialis yang pro perubahan, Lionel Jospin dikalahkan oleh kandidat dari partai sayap kanan, Jean Marie Le Pen pada Pemilu putaran pertama. Le Pen dalam kampanyenya dikenal fasis dan rasialis karena sering mengusung isu anti imigran. Le Pen bahkan pernah mengkritik tim sepakbola Perancis yang didominasi warga Perancis keturunan imigran Afrika. Saat itu banyak simpatisan Partai Sosialis yang golput karena menganggap Jospin sebagai tokoh Sosialis yang kurang memiliki agenda-agenda perubahan yang konkret. Hasilnya, yang diuntungkan adalah Le Pen dari partai fasis yang berhasil maju ke putaran kedua.
Walhasil, pada pemilu putaran kedua, warga Perancis yang pro perubahan “dengan terpaksa” memilih kandidat incumbent yang status quois, Jacques Chirac. Para pendukung Partai Sosialis jelas tidak akan memilih Le Pen yang fasis. Ideologi fasisme atau ultra-nasionalis sangat dikecam oleh para pendukung Partai Sosialis.
So, bagaimana pemilih Indonesia? Ingin Indonesia semakin liberal secara ekonomi dan fasis dalam kehidupan beragama? Semua tergantung anda.

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah MataAirwww.alfannymovement.blogspot.com

Selamat Tahun Baru
31 Desember 2008 01:11:38
www.gusmus.NET

Oleh: A. Mustofa Bisri

Kawan, Sudah tahun baru lagi Belum juga tibakah saatnya kita menunduk memandang diri sendiri Bercermin firman Tuhan Sebelum kita dihisabNya (A. Mustofa Bisri, Antologi Puisi Tadarus)
Tahun ini, tahun baru Hijriyah hampir bersamaan dengan tahun baru Masehi. Biasanya tahun baru Masehi disambut dengan hiruk-pikuk luar biasa. Sementara tahun baru Hijriyah yang sering diidentikkan dengan tahun Islam, tidak demikian. Tidak ada trek-trekan sepeda motor di jalanan. Tidak ada terompet. Tidak ada panggung-panggung hiburan di alon-alon.
Yang ada di sementara mesjid, kaum muslimin berkumpul berjamaah salat Asar –meski biasanya tidak—lalu bersama-sama berdoa akhir tahun; memohon agar dosa-dosa di tahun yang hendak ditinggalkan diampuni oleh Allah dan amal-amal diterima olehNya. Kemudian menunggu salat Maghrib –biasanya tidak—dan salat berjamaah lalu bersama-sama berdoa awal tahun. Memohon kepada Allah agar di tahun baru dibantu melawan setan dan antek-anteknya, ditolong menundukkan hawa nafsu, dan dimudahkan untuk melakukan amal-amal yang lebih mendekatkan kepada Allah.Memang agak aneh, paling tidak menurut saya, jika tahun baru disambut dengan kegembiraan. Bukankah tahun baru berarti bertambahnya umur? Kecuali apabila selama ini umur memang digunakan dengan baik dan efisien. Kita tahu umur digunakan secara baik dan efisien atau tidak, tentu saja bila kita selalu melakukan muhasabah atau efaluasi. Minimal setahun sekali. Apabila tidak, insyaallah kita hanya akan mengulang-ulang apa yang sudah; atau bahkan lebih buruk dari yang sudah. Padahal ada dawuh: “Barangsiapa yang hari-harinya sama, dialah orang yang merugi; barangsiapa yang hari ini-nya lebih buruk dari kemarin-nya, celakalah orang itu.”Apabila kita amati kehidupan kaum muslimin di negeri kita ini sampai dengan penghujung tahun 1428, boleh jadi kita bingung mengatakannya. Apakah kehidupan kaum muslimin --yang merupakan mayoritas ini-- selama ini menggembirakan atau menyedihkan. Soalnya dari satu sisi, kehidupan keberagamaan terlihat begitu hebat di negeri ini. Kitab suci al-Quran tidak hanya dibaca di mesjid, di mushalla, atau di rumah-rumah pada saat senggang, tapi juga dilomba-lagukan dalam MTQ-MTQ. Bahkan pada bulan Ramadan diteriakan oleh pengerassuara-pengerassuara tanpa pandang waktu. Lafal-lafalnya ditulis indah-indah dalam lukisan kaligrafi. Malah dibuatkan museum agar mereka yang sempat dapat melihat berbagai versi kitab suci itu dari yang produk kuno hingga yang modern; dari yang berbentuk mini hingga raksasa. Akan halnya nilai-nilai dan ajarannya, juga sesekali dijadikan bahan khotbah dan ceramah para ustadz. Didiskusikan di seminar-seminar dan halqah-halqah. Bahkan sering dicuplik oleh beberapa politisi muslim pada saat kampanye atau rapat-rapat partai.. Secara ‘ritual’ kehidupan beragama di negeri ini memang dahsyat. Lihatlah. Hampir tidak ada tempat ibadah yang jelek dan tak megah. Dan orang masih terus membangun dan membangun mesjid-mesjid secara gila-gilaan. Bahkan di Jakarta ada yang membangun mesjid berkubah emas. (Saya tidak tahu apa niat mereka yang sesungguhnya membangun rumah-rumah Tuhan sedemikian megah. Tentu bukan untuk menakut-nakuti hamba-hamba Tuhan yang miskin di sekitas rumah-rumah Tuhan itu. Tapi bila Anda bertanya kepada mereka, insya Allah mereka akan menjawab, “Agar dibangunkan Allah istana di surga kelak”. Mungkin dalam pikiran mereka, semakin indah dan besar mesjid yang dibangun, akan semakin besar dan indah istana mereka di surga kelak.(Terus terang bila teringat fungsi mesjid dan kenyataan sepinya kebanyakan mesjid-mesjid itu dari jamaah yang salat bersama dan beri’tikaf, timbul su’uzhzhan saya: jangan-jangan mereka bermaksud menyogok Tuhan agar kelakuan mereka tidak dihisab).Tidak ada musalla, apalagi mesjid, yang tidak memiliki pengeras suara yang dipasang menghadap ke 4 penjuru mata angin untuk melantunkan tidak hanya adzan. Bahkan ada yang sengaja membangun menara dengan beaya jutaan hanya untuk memasang corong-corong pengeras suara. Adzan pun yang semula mempunyai fungsi memberitahukan datangnya waktu salat, sudah berubah fungsi menjadi keharusan ‘syiar’ sebagai manifestasi fastabiqul khairaat; sehingga sering merepotkan mereka yang ingin melaksanakan anjuran Rasulullah SAW: untuk menyahuti adzan. Jamaah dzikir, istighatsah, mujahadah, dan muhasabah menjamur di desa-desa dan kota-kota. Terutama di bulan Ramadan, tv-tv penuh dengan tayangan program-program ’keagamaan’. Artis-artis berbaur dan bersaing dengan para ustadz memberikan ‘siraman ruhani’ dan dzikir bersama yang menghibur. Jumlah orang yang naik haji setiap tahun meningkat, hingga di samping ketetapan quota, Departemen Agama perlu mengeluarkan peraturan pembatasan. Setiap hari orang berumroh menyaingi mereka yang berpiknik ke negara-negara lain. Jilbab dan sorban yang dulu ditertawakan, kini menjadi pakaian yang membanggakan. Kalimat thoyyibah, seperti Allahu Akbar dan Subhanallah tidak hanya diwirid-bisikkan di mesjid-mesjid dan mushalla-mushalla, tapi juga diteriak-gemakan di jalan-jalan. Label-label Islam tidak hanya terpasang di papan-papan sekolahan dan rumah sakit; tidak hanya di AD/ART-AD/ART organisasi sosial dan politik; tidak hanya di kaca-kaca mobil dan kaos-kaos oblong; tapi juga di lagu-lagu pop dan puisi-puisi.Pemerintah Pancasila juga dengan serius ikut aktif mengatur pelaksanaan haji, penentuan awal Ramadan dan ‘Ied. MUI-nya mengeluarkan label halal (mengapa tidak label haram yang jumlahnya lebih sedikit?) demi menyelamatkan perut kaum muslimin dari kemasukan makanan haram.Pejuang-pejuang Islam dengan semangat jihad fii sabiilillah mengawasi dan kalau perlu menindak –atas nama amar ma’ruuf dan nahi ‘anil munkar-- mereka yang dianggap melakukan kemungkaran dan melanggar peraturan Tuhan. Tidak cukup dengan fatwa-fatwa MUI, daerah-daerah terutama yang mayoritas penduduknya beragama Islam pun berlomba-lomba membuat perda syareat.Semangat keagamaan dan kegiatan keberagamaan kaum muslimin di negeri ini memang luar biasa. Begitu luar biasanya hingga daratan, lautan, dan udara di negeri ini seolah-olah hanya milik kaum muslimin. Takbir menggema dimana-mana, siang dan malam. Meski namanya negara Pancasila dengan penduduk majmuk, berbagai agama diakui, namun banyak kaum muslimin –terutama di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam— seperti merasa paling memiliki negara ini.Barangkali karena itulah, banyak yang menyebut bangsa negeri ini sebagai bangsa religius. Namun, marilah kita tengok sisi lain untuk melihat kenyataan yang ironis dalam kehidupan bangsa yang religius ini. Semudah melihat maraknya kehidupan ritual keagamaan yang sudah disinggung tadi, dengan mudah pula kita bisa melihat banyak ajaran dan nilai-nilai mulia agama yang seolah-olah benda-benda asing yang tak begitu dikenal. Tengoklah. Kebohongan dan kemunafikan sedemikian dominannya hingga membuat orang-orang yang masih jujur kesepian dan rendah diri.Rasa malu yang menjadi ciri utama pemimpin agung Muhammad SAW dan para shahabatnya, tergusur dari kehidupan oleh kepentingan-kepentingan terselubung dan ketamakan. Disiplin yang dididikkan agama seperti azan pada waktunya, salat pada watunya, haji pada waktunya, dsb. tidak sanggup mengubah perangai ngawur dan melecehkan waktu dalam kehidupan kaum beragama. Plakat-plakat bertuliskan “An-nazhaafatu minal iimaan” dengan terjemahan jelas “Kebersihan adalah bagian dari iman”, diejek oleh kekumuhan, tumpukan sampah, dan kekotoran hati di mana-mana. Kesungguhan yang diajarkan Quran dan dicontohkan Nabi tak mampu mempengaruhi tabiat malas dan suka mengambil jalan pintas. Di atas, korupsi merajalela (Bahkan mantan presiden 32 tahun negeri ini dikabarkan menyandang gelar pencuri harta rakyat terbesar di dunia). Sementara di bawah, maling dan copet merebak. Jumlah orang miskin dan pengangguran seolah-olah berlomba dengan jumlah koruptor dan mereka yang naik haji setiap tahun. Nasib hukum juga tidak kalah mengenaskan. Tak perlulah kita capek terus bicara soal mafia peradilan dan banyaknya vonis hukum yang melukai sanubari publik untuk membuktikan buruknya kondisi penegakan hukum negeri ini. Cukuplah satu berita ini: KPK baru-baru ini menangkap Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial saat menerima suap. Penegak-penegak keadilan sering kali justru melecehkan keadilan. Penegak kebenaran justru sering kali berlaku tidak benar. Maniak kekuasaan menghinggapi mereka yang pantas dan yang tidak pantas. Mereka berebut kekuasaan seolah-olah kekuasaan merupakan baju all size yang patut dipakai oleh siapa saja yang kepingin, tidak peduli potongan dan bentuk badannya..Tidak hanya sesama saudara sebangsa, tidak hanya sesama saudara seagama, bahkan sesama anggota organisasi keagamaan yang satu, setiap hari tidak hanya berbeda pendapat, tapi bertikai. Seolah-olah kebenaran hanya milik masing-masing. Pemutlakan kebenaran sendiri seolah-olah ingin melawan fitrah perbedaan. Kekerasan dan kebencian, bahkan keganasan, seolah-olah menantang missi Rasulullah SAW: rahmatan lil ‘aalamiin, mengasihi seluruh alam, dan tatmiimu makaarimil akhlaaq, menyempurnakan akhlak yang mulia. Penghargaan kepada manusia yang dimuliakan Tuhan seperti sudah mulai sirna dari hati. Termasuk penghargaan kepada diri sendiri.Waba’du; jangan-jangan selama ini –meski kita selalu menyanyikan ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”—hanya badan saja yang kita bangun. Jiwa kita lupakan. Daging saja yang kita gemukkan, ruh kita biarkan merana. Sehingga sampai ibadah dan beragama pun masih belum melampaui batas daging. Lalu, bila benar, ini sampai kapan? Bukankah tahun baru ini momentum paling baik untuk melakukan perubahan?Selamat Tahun Baru !

dunia sastra

www.duniasastra.com
Wahai sahabat-sahabatku... ijinkan aku tuk sedikit bercerita:Karena ia hanya ingin menceritakan apa yang ingin ia keluarkan dan ia rasakan.Seperti halnya tangisan, keluar begitu saja walau ia berusaha sekuat mungkin untuk menahannya.Ia hanya ingin bercerita pd kalian tentang pengalamannya akan kesunyian, kesedihan, harapan dan juga .........aku tanya kepadanya, perihal makna yang terkandung dari titik-titik ini, namun ia bersikeras tak mau menjawabnya.Namun yang aku tahu ia bagaikan laba-laba penenun, yang menyulam imajinasinya dengan realitas kehidupan. Saat ia telah kehabisan serat benangnya yang terakhir, maka ia menenun dengan ukiran airmatanya, ketika airmatanyapun telah mengering, maka ia berusaha merajutnya kembali dengan lembaran serabut pembuluh tubuhnya.Lalu ada dimana benang-benang itu tak pernah habis walau ia telah memakainya berjuta-juta kaki jauhnya.Ketika aku tanya padanya perihal benang ajaib itu, ia menjawab sederhana :
' Pikiran dan kehendak bebas! '
by Hartono Benny Hidayat

02 Januari 2009

PACARAN ISLAMI

Sebagai manusia biasa tentunya kita ingin berkeluarga. Yaitu membentuk keluarga bahagia dunia dan akherat. Banyak orang bingung bagaimana cara mencari jodoh yang cocok dan benar-benar jodoh dunia dan akherat. itu dikarenakan masih adanya unsur nafsu dalam mencari jodoh. kurang percaya kepada Allah yang telah mempersiapkan jodohnya. untuk itu ada beberapa tips untuk mencari jodoh secara islami. yaitu:
1 carilah lawan jenis seagama
2 carilah informasi tentangnya
3 cari cara perkenalan dengan tetap menjaga etika islam
4 sowanlah kepada orang tuanya (jika anda laki2) untuk menanyakan statusnya
5 mintalah pasangan anda untuk sowan (jika anda perempuan) pada orang tua anda jika benar-benar sudah cocok
6 jika orang tua sama2 setuju buatlah kesepakatan untuk istikhoroh agar semua keputusan yang diambil benar-benar sesuai kehendak Allah
7 ridla-lah dengan keputusan dan petunjuk Allah karena Dia-lah Yang Maha Tahu jalan kebahagiaan anda.
INGAT!!!
-jangan cari jodoh yang mau diajak berhubungan(baik sentuhan , pegangan, ciuman apalagi.....) sebelum akad nikah
-jika pasangan anda benar-benar ingin mengajak anda bahagia dunia-akherat pasti tidak mau diajak untuk melanggar syari'at, apalagi mengajak.
-jodoh sejati adalah yang ingin mengajak anda hidup bahagia dunia-akhirat
-nikah adalah ibadah sehingga harus sesuai syari'at
-orang ingin ibadah pasti dibenci setan dan hawa nafsu
-waspadalah...... mohonlah perlindungan pada Allah

selamat mencoba..... semoga Allah menunjukkan yang terbaik bagi anda. amin.

MENJADI MANUSIA MULIA


KAUTAMANING LAKU


1. Wong eling ing ngelmu sarak dalil sinung kamurahaning Pangeran.
2. Wong amrih rahayuning sesaminira, sinung ayating Pangeran.
3. Angrawuhana ngelmu gaib, nanging aja tingal ngelmu sarak, iku paraboting urip kang utama.
4. Aja kurang pamariksanira lan den agung pangapunira.
5. Agawe kabecikan marang sesaminira tumitah, agawea sukaning manahe sesamaning jalma.
6. Aja duwe rumangsa bener sarta becik, rumangsa ala sarta luput, den agung, panalangsanira ing Pangeran Kang Maha Mulya, lamun sira ngrasa bener lawan becik, ginantungan bebenduning Pangeran.
7. Angenakena sarira, angayem-ayema nalarira, aja anggrangsang samubarang kang sinedya, den prayitna barang karya.
8. Elinga marang Kang Murbeng Jagad, aja pegat rina lan wengi.
9. Atapaa geniara, tegese den teguh yen krungu ujar ala.
10. Atapaa banyuara, tegese ngeli, basa ngeli iku nurut saujaring liyan, datan nyulayani.
11. Tapa ngluwat, tegese mendhem atine aja ngatonake kabecikane dhewe.
12. Aprang Sabilillah, tegese prang sabil iku, sajroning jajanira priyangga ana prang Bratayudha, prang ati ala lan ati becik

PATRIOTISME INDONESIA


Kumbakarna, Adipati Karna dan Soekarno : Potret Budaya Patriotisme Indonesia
Menggali Kembali Semangat Kepahlawanan Bangsa

Oleh. Imam Suprapto


Bangsa Indonesia baru saja memperingati Hari Pahlawan 10 November. Hari yang lahir dari moment besar sejarah bangsa ini. Sebuah peristiwa heroik arek-arek Surabaya yang mengangkat senjata untuk mempertahankan tumpah darah mereka. Tidak ada ambisi dalam jiwa mereka selain mengusir penjajah. Tidak ada kedudukan dan pangkat yang mereka harapkan. Semua rela mengorbankan harta, benda, bahkan darah dan nyawa mereka. Merekalah para pahlawan yang mati hanya sekali untuk hidup selamanya dalam sanubari rakyat bangsanya sebagai kusumanegara.
Saat ini juga banyak orang yang berteriak-riak memperjuangkan negeri ini. Namun sulit mencari siapakah yang benar-benar pahlawan diantara mereka. Siapa yang meneteskan keringat dan darahnya hanya untuk kejayaan ibu Pertiwi. Sebaliknya kebanyakan mereka hanya menonjolkan perjuangan atas kepentingan pribadi dan golongan. Kepentingan untuk mendapatkan kekuasaan, kedudukan, pangkat dan jabatan. Kemanakah kepahlawanan yang dimiliki bangsa ini?. Yaitu heroism dan patriotism yang dulu mampu menghancur-leburkan tembok besar imperialis yang telah berdiri kokoh selama 350 tahun di bumi nusantara. Juga sifat rela berkorban tanpa pamrih yang mampu menggetarkan hati dan mnenyiutkan nyali kolonialis sehingga tidak berani sama sekali untuk menginjakkan kaki di tanah air Indonesia.s
Untuk itu marilah kita berefleksi untuk mengenang kembali semangat patriotik para pahlawan, agar jiwa kita yang mulai enggan menggunakan sifat agung orang-orang mulia tersebut tesejukkan untuk selanjutnya bersemi lagi sifat itu guna membangun negeri kita tercinta ini.
Kita tahu jiwa heroik dan patriotik sebenarnya sudah mendarah daging dalam diri rakyat Indonesia. Jiwa itu lahir dari filsafat hidup bangsa yang sudah menjadi kearifan hidup dan merupakan implementasi dari kepribadian bangsa yang luhur.
Dalam masyarakat jawa misalnya, patriotism tidak dapat dilepaskan dari budaya wayang kulit yang keberadaannya selain menjadi tontonan juga menjadi tuntunan dalam kehidupan. Kisah-kisah dalam wayang kulit atau Ringgit Purwa berdasarkan pada cerita Mahabarata dan Ramayanatelah melahirkan konsep kesatria sejati dan sosok satria sejati.
Mahabarata adalah cerita tentang peperangan antara dua keluarga darah barata yaitu Pandawa dan Kurawa di tegal Kurusetra. Pandawa adalah satria-satria pembela kebenaran yang selalu menegakkan keadilan. Golongan pandawa terfokus pada lima sosok satria yang dalam diri mereka ada karakter-karakter mulia. Yudistira misalnya merupakan raja adil yang tidak pernah berdusta sekalipun kepada musuhnya, tidak pernah marah sehingga disebut manusia berdarah putih dengan pusaka Jimat Kalimasada. Adiknya Bima adalah sosok satria bertekad baja dan selalu berada di jalan kebenaran dan sangat patuh kepada gurunya sehingga mampu menerima ngelmu Kasampurnan sebagai buah kebersediaannya mencari Tirta Perwitasari di dasar samudera dalam Lakon Dewa Ruci. Dan tidak kalah lagi adiknya Arjuna yang disebut satria Lelananging Jagad (lelaki nomor 1 dunia) yang gemar bertapa dan berhasil menjadi Satria Pinandhita dan berhak menerima wahyu Makutha Rama yang akan menurunkan raja-raja. Begitu juga dengan bungsu pandawa sang Nakula dan Sadewa yang selalu patuh pada ibu dan saudara tua mereka berdua.
Sedangkan Kurawa adalah para satria yang bertindak angkara murka. Mereka antara lain adalah Duryudana yang merupakan Raja angkuh dan tidak mau mengakui kesalahannya dengan mengembalikan kerajaan Astina kepada Pandawa. Adiknya Dursasana adalah seorang yang besar mulut, suka minum minuman keras dan pernah menelanjangi Drupadi (isteri Yudistira) ketika Pandawa kalah bermain dadu. Kurawa yag merupakan 100 bersaudara dibantu Patih Sengkuni. yang licik dan pandai tipu muslihat.
Ramayana adalah cerita tentang peperangan antara Prabu Ramawijaya yang dibantu Anoman, Sugriwa dan tentara kera melawan Raja kerajaan Alengka. Yaitu Seorang raja raksasa bernama Rahwana atau Dasamuka. Prabu Ramawijaya adalah seorang kesatria dan raja kerajaan Pancawati yang adil. Karena keadilannya dia dinyatakan sebagai titisan dewa Wisnu. Juga adiknya bernama Lesmana adalah satria yang setia mendukung mengambil haknya hingga mengorbankan dirinya untuk tidak menikah. Sedangkan Rahwana adalah raja bertubuh raksasa yang berwatak bengis dan angkara murka. Dia pernah menyerang kerajaan para dewa hingga membuat ketakutan para dewa dan berambisi menguasai dunia.
Dua cerita di atas melahirkan dua kesatria sejati yang rela meneteskan darah dan mengorbankan nyawanya untuk membela tanah air. Yaitu Negara dimana keduanya hidup, minum airnya, menghirup udaranya, dan makan dari hasil buminya. Anehnya, dua satria simbol kepahlawanan itu tidak berasal dari golongan pembela kebenaran atau di dunia Pakeliran disebut Bala Kanan, tetapi dari Bala Kiri atau golongan orang-orang jahat. Itu artinya jika dalam Mahabarata satria sejati itu berasal dari pihak Kurawa , dan dalam Ramayana berasal dari pihak Rahwana.
Satria sejati dalam mahabarata itu adalah Adipati Karna yang mempunyai nama lain Basukarna dan Surya Atmaja. Dia bersedia berada di pihak Kurawa dan membelanya karena sejak kecil hidup di negeri kurawa yaitu Kerajaan Astina. Di kerajaan Duryudana itu dia tumbuh dewasa hingga memperoleh kamukten berupa kedudukan sebagai Adipati di Kerajaan Awangga. Adipati Karna berprinsip “Right or wrong is my Country” sehingga dia harus membela Negara itu hingga tetes darah penghabisan. Tragisnya Adipati Karna sebenarnya saudara seibu dengan para Pandawa. Dia putra pertama Dewi Kunthi dengan Bathara Surya sehingga nama lainnya Surya Atmaja (artinya : putra surya). Kemudian dinamakan Karna (artinya: telinga) karena lahir melalui telinga Dewi Kunthi, kemudian dihanyutkan ke sungai dan di temukan seorang kusir kerajaan Astina bernama Adirata.
Diceritakan ketika masa perang Baratayuda sudang berlangsung beberapa hari, Kurawa menderita kekalahan. Senopatinya selalu mengalami kekalahan termasuk Resi Bisma yang terkenal tidak bisa mati. Duryudana semakin ciut nyali dan ingin menghentikan perang serta mengaku kalah kepada Pandawa. Saat itulah Adipati Karna maju dan menyatakan siap menjadi senopati untuk memimpin pasukan kurawa memerangi Pandawa. Dia memberi semangat kepada Duryudana agar tidak menyerah karena bukan watak seorang satria dan akan merendahkan martabat dan derajatnya sebagai Raja Besar. Sehingga Duryudana mengangkat Adipati Karna sebagai senopati perang. Adipati Karna maju ke medan perang karena membela Negara Astina yang telah menghidupinya. Tanah tumpah darah itu dia bela hingga akhirnya bertemu dengan adiknya Arjuna di medan perang. Adipati Karna akhirnya memperoleh cita-citanya untuk mati secara kesatria di medan perang dalam rangka membela tanah tumpah darahnya.
Satria sejati dalam Ramayana adalah Kumbakarna. Dia adik Rahwana yang bersedia mengangkat senjata melawan Prabu Ramawijaya bukan karena membela Rahwana yang nyata-nyata bersalah menculik Dewi Shinta istri Ramawijaya, namun hanya ingin membela tumpah darahnya kerajaan Alengka yang diserang Prabu Ramawijaya dan tentaranya. Itu dibuktikan dengan ketidakbersediaannya ikut jejak adiknya Wibisana bergabung Prabu Ramawijaya dan diangkat menjadi penasehat perang. Selain itu untuk membuktikan niat sucinya, ketika maju ke Medan Perang memakai pakain Putih dan kalung bunga melati putih. Sampai akhirnya Kumbakarna bertemu pasukan Prabu Ramawjaya yang dibantu para Wanara (tentara kera) sehingga banyak jatuh korban dipihak Prabu Ramawijaya. Hal itu menjadikan Prabu Ramawijaya ingin mengakhiri perlawaanan Kumbakarna, sehingga ia memanah lengan kanan Kumbakarna, disusul lengan kiri, kaki kanan, kaki kiri dan terakhir lehernya hingga akhirnya Kumbakarna memperoleh cita-citanya mati secara satria demi membela tanah tumpah darahnya. Sebagai titisan Wisnu Prabu Ramawijaya tahu bahwa Kumba karna memeranginya bukan karena memusuhinya tetapi menunaikan darma bakti seorang satria.
Kita bangsa Indonesia memiliki pahlawan nasional namany mirip dengan dua kesatria diatas. Yaitu sama-sama memiliki nama Karna (baca dalam bahasa jawa: Karno). Beliau adalah Sang Proklamator bangsa ini dan presiden pertama Republik Indonesia. Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, ternyata sangat menyukai pagelaran wayang kulit dan mengidolakan tokoh Adipati Karna. Sehingga sangat mungkin perjuangan dan kehidupan Bung Karno terinspirasi oleh tokoh Adipati Karna.
Sejak zaman penjajahan belanda Bung Karno sudah berjuang membela bangsanya. Pledoinya berjudul “Indonesia Menggugat” telah menghantarkan dirinya ke tahanan pemerintah Hindia Belanda pada Desember 1929 dan bebas 31 Desember 1931. Pada agustus 1933 beliau ditangkap lagi dan dibuang ke Flores. Kemudian pada tahun 1938-1942 dipindahkan ke Bengkulu. Masa muda Bung Karno dilalui dari penjara satu ke penjara lain dan dari tempat pembuangan satu ke tempat pembuangan lain. Itu merupakan resiko dari jalan hidup pilihannya. Sebuah jalan perjuangan menbela bangsanya dari penjajahan bangsa lain. Beliau begitu akttif dalam pergerakan bersama para pejuang pergerakan lainnya hingga berhasil mengantarkan bangsa Indonesia mencapai Kemerdekaan. Selanjutnya rakyat memeberikan amanah kepada beliau untuk memimpin Republik ini. Sebagai presiden pertama sebuah Negara yang baru merdeka tentu sangat besar tantangannya, hingga diakhir perjalanan perjuangannya beliau meninggal dalam status ‘tahanan’ Wisma Yaso di republik yang sangat beliau cintai.
Diantara Adipati Karna, Kumbakarna dan Soekarno ada kemiripan ada kemiripan citra hidup. Dua Karno yang pertama mungkin hanya ada dalam cerita, tetapi Bung Karno merupakan pelaku sejarah Negara ini. Mereka sama-sama berwatak satria yang rela berkorban demi bangsa dan negaranya.
Adipati Karna di mata umum adalah orang jahat karena membela orang jahat. Tetapi di mata titisan Dewa Wisnu yaitu Prabu Kresna merupakan seorang satria sejati. Itu dibuktikan ketika dalam lakon “Kresna Duta Pamungkas” dia pernah diajak Prabu Kresna untuk dipihak adik-adiknya para Pandawa. Dia tetap bersikukuh membela negeri tempatnya hidup. Selain itu ada rahasia yang hanya boleh diketahui titisan Dewa Wisnu yaitu keinginannya menghancurkan angkara murka. oleh karena itu perang Baratayuda harus terjadi. Sedangkan Duryudana tidak berani perang tanpa ada dirinya. Untuk berperang dipihak kurawa sebenarnya untuk kemuliaan adik-adiknya para Pandawa. Dia rela menjadi ‘tumbal” demi tegaknya kebenaran dan keadilan.
Begitu juga dengan Kumbakarna walau tetapi tujuannya tidak membela Rahwana tetapi semata-mata menuanaikan darma bakti sebagai seorang satria yang wajib membela negaranya ketika Negara diserang musuh.
Tidak jauh berbeda dengan Bung Karno yang perjalanan panjangnya sebagai pejuang meninggal dalam setatus ‘tahanan’ republik yang belia perjuangkan. Ini mungkin pilihan hidup Bung Karno dan jalan beliau mengakhiri hidupnya. Tetapi kita sebagai bangsa akan selalu melihat dan mengenang beliau sebagai pejuang sejati dengan rasa kemanusiaan tinggi yang menjadikannya tidak rela melihat bangsanya terttindas. Pengorbanan beliau yang dengan rela hidup dalam penjara dan pembuangan merupakan bukti ketulusan hatinya dalam membela negaranya.
Bung Karno yang mengidolakan tokoh Adipati Karna yang rela dianggap sebagai orang jahat (bersalah) demi tujuan mulia dan keselamatan Negara. Niat mulianya tidak perlu diketahui orang lain karena ia hanya ingin hidup dan mati sebagaimana yang dicitakan. Yaitu kejayaan daan kesejahteraan bangsa dan negaranya.
Selanjutnya kita ketahui pada jaman dulu kita mempunyai banyak pahlawan dan pejuang sejati. Di jaman Nusantara lama ada Gajah Mada dengan Amukti Palapa-nya yang tidak akan menikmati enaknya makan sebelum mempersatukkan Nusantara. Di jaman penjajahan ada Cut Nyak Dien, P. Dponegoro, Patimura, Trunojoyo dan lain-lain. Jaman ada dr. sutomo, HOS Cokro Aminoto, Tan Malaka, dan masih banyak lagi. Begitu juga jaman revolusi ada Bung Tomo, Jendral Sudirman, Urip Sumoharjo, dan lainnya. Mereka semua berjuang tanpa ada ambisi kekuasaan. Cita-cita mereka hanya kemerdekaan bangsa dan mempertahannkanya. Banyak diantara mereka baik yang dikenal maupun tidak banyak yang tidak sempat menikmati hasil perjuangannya. Dan lebih tragis lagi ada yang terbunuh oleh tentara Republik yang mereka dulu diperjuangkannya. Dan ada juga yang meninggal dalam setatus tahanan oleh pemerintah Negara yang dicintainya.
Patriotisme yang dimiliki para pahlawan itu saat ini mulai luntur. Bahkan nyaris hilang dari kepribadian bangsa. Krisis kepahlawanan itu tidak hanyamelanda generasi tua tetapi sudah menjadi penyakit kronis generasi muda sebagai generasi penerus. Sebagai akibatnya nasib bangsa ini layaknya bangsa terjajah dan jarang sekali rakyat yang memperjuangkannya.
Untuk itu di hari pahlawan ini marilah kita kumpulkan energi yang masih tersisa membangun kembali kepribadian dan watak patriotisme bangsa kita. Kita tumbuh suburkan jiwa kepahlawanan untuk membangun negeri tercinta.
Kita tidak ingin dianggap pahlawan karena bagi sang pahlawan tidak ada gunanya disebut sebagai pahlawan. Kita tidak ingin kedudukan karena bukan itu bukan itu yang diharapkan sang pahlawan. Kita hanya ingin membangun negeri tercinta ini. Membawa raktanya ke dalam kesejahteraan dan keadilan. Bersama dengan bangsa Indonesia di dunia dan alam baka.

About Me

Foto saya
saya dilahirkan oleh kanjeng ibu di pesisir selatan pulau Jawa yang memiliki pantai dengan nama JOLOSUTRO. sebagai putra pesisir sekaligus pedalaman saya besar menjadi seorang yang tetap bergaya nggunung dan ndeso namun berusaha menjadi pemikir berwawasan luas dan berperadaban adiluhung.berusaha untuk mewujudkan masyarakat yang berbudaya modern dengan tetab menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Followers

KI AGENG JOLOSUTRO © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO